Langsung ke konten utama

Unggulan

Napak Tilas waktu

MENERIMA manuskrip puisi Imung Mulyanto, seakan tak sabar saya segera membacanya. Sebagai seorang jurnalis tulen, Imu­ng Mulyanto adalah sang terampil pengolah seluk beluk frasa dan kata. Tentu saja uraian kalimatnya bakal purna tersaji dalam barisan puisi. Malang melintangnya dalam berbagai peristiwa, perjalanannya ke berbagai arah membuat puisinya kaya de­ngan nilai. Meski jiwa jurnalisnya telah mengakar, tapi da­ging kemanusiannya tak dapat dibendung untuk turut memberi simpati dan empati. Dengan puisilah hal tersebut dapat ditam­pung, jiwa-jiwa manusia terdalam. Simak puisi ini; Mengapa di Santerra De Laponte tak ada kemarau? / Padahal di rumahku panas dan gersang,/tak bertumbuh bunga cinta setangkai pun! Bukankah kemarau pe­ristiwa alam yang biasa dan wajar? Apa hubunganya dengan rumah dan tumbuh bunga cinta? Bagi saya itu ruang penyair.  Pada bagian 1, Imung Mulyanto seakan menyambangi berbagai peristiwa alam, flora fauna seolah membisik pelan pesan-pesan, dan si penyair me...

Kecewaku















Kegundahan hati
Terjawab sudah malam ini
Setelah kudengar semua
Suara merdu berkata keruh
Memadamkan peluh
Dalam hati rusuh
Menghapus semua angan tentang dirimu
Berjalan satu menuju arahmu

Tapi hatimu keras
Dengan prinsip-prinsip formal
Yang membuatku tak bisa menerima bait kata
Dari bibir tipis penuh sejuta harap muluk dariku

Setetes kecewa
Mengalir ke tubuh
Terpendam dalam-dalam
Membeku mengeras
Ditemperatur malam bermendung

Kau diseberang waktu
Menjadi satu alur cerita garis hidup
Yang tertulis Tuhan
Sebagai takdir pembawa luka

Apakah dihatimu
Tak ada seberkas cahaya sukma
Untuk pesinggahan arjuna pencari cinta
(16/10/00)

Komentar

Postingan Populer