Awal Mula

Sebuah Pengantar

Pada mulanya adalah keinginan untuk menyimpan sebuah momen, yang dirangkai dalam sebuah kata-kata. Mencoba meninggalkan waktu dengan kesan-kesan, hingga suatu waktu momen itu dapat dinikmati kembali. Baik itu kesedihan, kegembiraan, putus asa, tentang persahabatan, cinta, dan apa saja yang membuat hati saya bergetar atau memang hati butuh tempat untuk diluapkan. Memang, puisi bukan bentuk awal yang saya pakai untuk itu, mulanya adalah catatan harian. Hingga suatu waktu saya berpikir ada hal dalam cerita yang saya buat, tidak menggambarkan perasaan saya. Menulis perasaan banyak berkutat dengan yang tak masuk akal. Saya berpikir cerita itu terlalu panjang dan tak berasa untuk dinikmati. Cerita itu pun saya tinggalkan. Apalah saya yang waktu itu masih duduk di bangku SMP, lebih banyak menghabiskan waktu untuk bermain dengan teman sebaya di sawah atau bermain sepak bola di tanah lapang. Tapi setelah masalah datang mendera, perasan itu butuh diluapkan, saya mulai mencari-cari buku harian saya. Tentu saja buku itu telah terlupakan dan hilang entah kemana. Terpaksa dengan sobekan kertas cerita kembali saya tulis.

Pendidikan sekolah sedikit banyak memperkenalkan saya dengan puisi dan bentuk sastra yang lain. Puisi Chairil Anwar pun pernah diperkenalkan oleh guru Bhs Indonesia kepada saya dan teman-teman sekelas yang lain. Dan setiap siswa bergiliran membaca di depan kelas, kalau tak salah judulnya waktu itu Karawang-Bekasi. Itu saat-saat awal mengenal tentang puisi. Cerita saya pun berubah menjadi baris-baris puisi. Waktu itu saya tak memikirkan bentuk sastra yang saya pilih yaitu puisi. Setelah dibangku SMU dan mulai banyak berkenalan dengan banyak bentuk karya sastra—saat itu saya suka pinjam buku di perpustakaan pemerintah atau membaca majalah Horizon di perpustakaan sekolah. Maka saya pun membaca karya Kahlil Gibran, Samannya Ayu Utami, keberangkatan karya NH Dhini, dan cerita-cerita lain. Tapi saya sangat jarang membaca karya puisi, hanya beberapa lembar karya puisi di majalah Horizon, tentu saja saya sangat kesusahan untuk menangkap makna dalam baris-baris itu. Tapi ketika saya berhadapan dengan kertas dan ingin menulis, yang tercipta selalu baris-baris puisi. Saya merasa memang ada yang ringkas dalam puisi, ada yang dipadatkan dan begitu bergelora bermain-main dengan perasaan. Saya sering di mabuk imaji-imaji aneh yang kadang membuat saya tersesat ke negeri yang entah dimana. Tentu saja tak masuk akal. Hasrat untuk menulis juga selalu pasang surut. Puisi itu pun berserak-serak dalam lembar-lembar terpisah.
Memasuki masa kuliah, puisi itu pun tetap saya tulis. Terlebih lagi pergaulan dan keaktifan saya di Lembaga Pers Mahasiswa Indikator banyak memperkenalkan berbagai macam bacaan. Dan saya mulai dibuat mengerti sedikit demi sedikit sebuah kehidupan. Dan berbagai pertanyaan aneh selalu berputar di kepala saya setelah membaca buku-buku itu. Jawaban yang saya lontarkan selalu simpang siur, mengapai-gapai sandaran. Akhirnya saya berbenturan dengan berbagai wacana yang kadang membuat saya tak mempunyai pegangan. Kemudian saya banyak terlelap dengan berbagai macam bacaan dan kesibukan saya, puisi itu pun sedikit terlupakan.

Rupanya puisi dan sastra seakan tak pernah lenyap dalan kehidupan saya. Pada saat-saat kepala saya berkecamuk, perasaan saya merintih. Puisi-puisi itu kembali saya tulis dan kemudian saya akrab lagi dengan buku-buku sastra. Dan sampai saya berpikir “Apakah sastra menjadi bagian dari kehidupan saya nanti, bergelayut dan berkelindan dengan diri saya?” jawaban sekarang pun juga tak pasti. Tapi dari pertanyaaan itu, saya mulai mengumpulkan kembali puisi-puisi yang berserak dan yang terselamatkan itu untuk saya bukukan. Semangat saya hanya untuk mempermudah menelaah perkembangan penulisan saya dan pemahaman saya tentang puisi. Dan terlebih penting lagi saya dapat mengevaluasi rumusan tekad dan mempertegas siapa saya dan untuk apa saya diciptakan. Saya pikir pertanyaan itu tidak akan menemukan jawaban yang final, dan biar puisi-puisi ini yang setia menemani saya dalam berbagai pertanyaan. Untuk saat ini saya mengartikan puisi adalah wadah untuk menyalurkan energi yang meluap pada tubuh saya untuk sesegera mungkin dikucurkan. Hingga lepaslah dari beban itu. Kalau tidak saya seperti didera imajinasi aneh yang datang dan pergi pada pikiran saya.

***
Dalam kumpulan puisi ini terbagi menjadi tiga bab. Pembagian ini saya sandarkan pada perjalanan dan pemahaman tentang “siapa saya dan segala permasalahanya ?” dan puisi itu sendiri. Bab pertama yang berjudul “Yang tersisa dari masa biru”, puisi-puisi yang saya tertulis pada saat saya dibangku SMP dan sampai selesai SMU. Tentu saja banyak bertema tentang permasalahan remaja. Bab kedua berjdul “Aku berangkat untuk mengembara” saya tulis saat awal-awal kuliah sampai saya dipercaya teman-teman untuk menjadi pemimpin redaksi majalah Indikator. Mengapa berikan judul demikian? Sebab saat itu saya pertama kali jauh dari orang tua, maka segala permasalahan akan saya tanggung sendiri. Maka sedikit banyak akan memperngaruhi pola pikir saya. Bab ketiga berjudul “Memunguti jejak-jeak kuasa-Nya” dalam kumpulan ini saya tulis pada saat saya menjadi pemimpin redaksi Indikator sampai selesai dan beberapa puisi tambahan selepas itu. Setidaknya judul ini akan memberi semangat pada rumusan saya, bahwa kita diciptakan untuk selalu sujud dihadapan Tuhan, bukan berarti saya sudah final, tapi saya mencoba memunguti jejak-jejak kuasa-Nya. Mencoba memahami kebesarannya dan ikhlas bersujud dihadapan-Nya. Apalah arti saya dan manusia yang lain di hadapan-Nya. Sebah kesadaran dan rasio yang selalu kita agungkan ternyata hanya bagian kecil dari ketidaksadaran kita. Kesimpulan ini saya buat setelah membaca beberapa hal tentang alam bawah sadar Sigmund Freud. Maka tak banyak yang bisa saya perbuat untuk itu, kecuali merumuskan tekad dan berdoa semoga saya selalu berjalan di jalan-Nya.

***
Dalam kumpulan puisi ini, juga saya lengkapi dengan ilustrasi yang saya buat sendiri. Setidaknya ada beberapa alasan. Pertama untuk menghindari kejemuan dalam membaca puisi, sebab kesimpulan saya selama ini, kita lebih mudah menikmati artistic visual dari pada hanya baris kata-kata, apalagi itu puisi yang penuh dengan symbol dan lambang. Kedua, saya ingin membantu pembaca untuk memberi jalan untuk menikmati puisi-puisi yang telah saya suguhkan. Tapi entah ini adalah kesewenang-wenangan saya untuk menafsirkan puisi saya sendiri yang berakibat memberi batasan-batasan kepada apresiasi pembaca. Apalagi saya juga diingatkan oleh Radhar Panca Dahana di bukunya “Kebenaran dan Dusta dalam sastra” bahwa seawam-awamnya pembaca, pasti saat membaca karya sastra ia mempunyai ancang-ancang sendiri, betapa pun entah itu ancang-ancangnya yang telah ia lalui dalam kehidupannya. Saya berpkir kembali, kumpulan ini juga bukan untuk umum, mungkin hanya dibaca teman-teman dekat saja. Maka saya menikmati apa yang harus diperbuat dalam mengerjakan pembukuan ini seperti yang ada dipikiran saya. Sekaligus tempat saya berapresiasi dalam bentuk lain, dalam seni visual. Sekaligus dapat saya katakan ini adalah karya tunggal saya.
Untuk beberapa puisi terbentuk dalam bait-bait yang terpisah-pisah. Itu saja sengaja untuk pertimbangan tata letak—lagi-lagi pertimbangan artistic visual. Sejujurnya saya tak mempunyai kesadaran dalam penghayatan puisi dalam bentuk fisik. Tapi semoga dengan pengantar ini pembaca dapat menikmati sekaligus bertamasya dalam imaji-imaji yang saya buat dalam barisan puisi ini. Selamat membaca!

Singosari, 8 Oktober 2005

-------------------------------------------------
Ditulis untuk pengantar buku kumpulan puisi pertama: Berburu Hidup.

Komentar

Postingan Populer