Napak Tilas waktu
MENERIMA manuskrip puisi Imung Mulyanto, seakan tak sabar saya segera membacanya. Sebagai seorang jurnalis tulen, Imung Mulyanto adalah sang terampil pengolah seluk beluk frasa dan kata. Tentu saja uraian kalimatnya bakal purna tersaji dalam barisan puisi. Malang melintangnya dalam berbagai peristiwa, perjalanannya ke berbagai arah membuat puisinya kaya dengan nilai. Meski jiwa jurnalisnya telah mengakar, tapi daging kemanusiannya tak dapat dibendung untuk turut memberi simpati dan empati. Dengan puisilah hal tersebut dapat ditampung, jiwa-jiwa manusia terdalam. Simak puisi ini; Mengapa di Santerra De Laponte tak ada kemarau? / Padahal di rumahku panas dan gersang,/tak bertumbuh bunga cinta setangkai pun! Bukankah kemarau peristiwa alam yang biasa dan wajar? Apa hubunganya dengan rumah dan tumbuh bunga cinta? Bagi saya itu ruang penyair.
Pada bagian 1, Imung Mulyanto seakan menyambangi berbagai peristiwa alam, flora fauna seolah membisik pelan pesan-pesan, dan si penyair mendapat kelebihan untuk mendengar lirih suara. Sekarang terserah engkau pilih yang mana / Aku hanya menarasikan / Suara air! Pada bagian 2, jejak tapak kaki di mana seseorang menjadi manusia kemudian menautkannya menjadi bangsa, dengan segala timpang dan pasang surutnya. Dengan segala cintanya pada pertiwi membuatnya tak dapat diam melihat dan merasakan luka yang menyayat hatinya... Luka ini telanjur menganga / Air mata darah telah menjadi telaga / Tempatmu mandi berpesta pora / Sambil kau kencingi beraki ibu pertiwi. Pada bagian 3, dalam puisi, Imung Mulyanto mencoba memahami kehadirannya di dunia, dengan jungkir balik dan tegak lurusnya, hingga Semula kupikir aku pengelana sejati / Tapi saat kuikuti sinyal yang kau kirim / Aku justru tersesat di peta buta / Terjebak di lingkaran labirin.
Pada bagian 4, Imung Mulyanto memahami betul dia hamba, segala sengsara kehendak dunia dia bersimpuh tulus di hadapan-Nya. Puisi penutup dalam buku ini berjudul Takkan Cukup Kata seolah menjadi kredo buku puisi ini, saya kutip seluruhnya, Ya Allah … / Takkan cukup kata / ‘tuk memuja kebesaranMu…. // biarpun seluruh air samudera dijadikan tinta / meskipun semua pepohonan, dahan, / dan reranting dijadikan pena / walaupun segala dedaunan dijadikan lembar / takkan cukup ‘tuk mewadahi tulisan / tentang nikmat yang telah Engkau limpahkan … // Ya Allah … / Habis sudah … / Ampuni hambaMu yang fakir ini … / Tak pernah tuntas memuja keagunganMu …
Buku puisi ini seperti upaya Imung Mulyanto menapak tilasi waktu, persinggahannya di dunia yang fana ini. Selamat membaca! Tabik!
Ferdi Afrar
Pengelola Penerbit MejaTamu
Tulisan ini dibuat menjadi kata pengantar singkat buku puisi Imung Mulyanto berjudul Tuhan Plis Deh ... Gambar: Arsip Penerbit MejaTamu

Komentar