Pentas perempatan jalan


Ranting-ranting tertancap menancap persimpang jalan
Hari berjalan angkuh menyisakan bayang-bayang kehidupan
Dan senjapun masih tersenyum tertawa, entah menertawakan
Ranting-ranting tertancap menancap persimpang jalan

Tiba-tiba semua menjadi gelap
Hanya mata-mata ranting beradu bersinar berkaca
Tapi dimana?
Lalu jalan menjadi tajam menajam
Seperti kaki tertusuk pecahan kaca-kaca
Menusuk jiwa
Menusuk
Nusuk
Kau

Terdengar kau menjerit mengiba
Seperti disini merintih memaki-maki
Kemudian berkata : segala anjing, segala babi sekujur tanah ini
Lalu darah menggenang di jalanan
Sambil mengenggam sebatang korek api
Peninggalan ayah hari silam
Namun seakan tak peduli
Aku terus berlari
Kau pun berlari
Berlari-lari
Lari
Ri

Sambil kau genggam lilin
Yang diberikan ibu
Ya…ibu
Ingatkah saat menimang
kau

Engkau pun tersungkur bermandikan darah
Merangkak dengan sayatan luka
Sekujur tubuhku tubuhmu
Ranting-ranting persimpang jalan
Menggapai yang tersisa
Udara
Fatamorgana

Engkau menengadah
Memeluk guratan getir tubuh
Menyatu
Lilin bersinar redup
Hingga melihat pahatan wajah-wajah sendu
Melihat persimpang jalan itu

Tuhan
Ranting-ranting
Cabang segala pohon yang tumbuh
Persimpangan jalan itu

Jika memang gelap adalah jemari-Mu
Biarkanlah kami melangkah dengan senyum
Memeluk getir tubuh
Menyatu
Meskipun lilin meredup
Tak peduli
Biarkanlah ranting-ranting ini
Menyemaikan dedaunan
Rasional
Emosional
Seperti benih-benih musim penghujan
Tumbuh dengan kedewasaan akar dan tanah

(Singosari, 18-04-04)

Komentar

Postingan Populer