Langsung ke konten utama

Unggulan

Matahari, Koran, Pabrik Gula

 Mengayun pedal sepeda lagi, seperti ini seperti membuat jedah pada rutinitis. Bisakah saya bertanya kenapa kita membuat rutinitas, shidup, yang seperti pattern hidup, atau seperti kereta yang akan bergerak dengan deras hanya pada relnya... Ternyata kehidupan memang seluas-luasnya.. tapi kita hidup pada lingkungan yang menurut saya sangat terbtas. Apakah pada kerumuan orang di pasar apakah, kita mengenalnya, setidaknya bertegur sapa. Setiap papas yang berlintas pada jalan, apakah kita mengenalnya... bukankah anak adam ini begitu melimpahnya.. bayangkan bila kita diluar arena, misal kita d uar negeri, tiba-tiba kita bertemu dengan orang Indonesia.. pertemuan itu akan begitu berarti

Kekasihku 13: Sepasang bibirmu

1
Kekasihku, saat kembaraku tak lagi menghidangkan sepercik lampu,
tak juga bohlam 5 watt buatan bunda
apalagi neon yang bertumpuk dalam buku-buku
yang ada hanya sepasang bibirmu yang telanjang
berkepak denganku dalam kehangatan purba

2
kemana engkau pergi?
masih kuingat rambut merahmu yang ikal
tertiup angin ketika kau memetik jambu
di sebuah taman berkolam susu
dengan gemintang dan pohon-pohon yang berakar pada awan
kita iseng belajar pada sepasang rusa yang bercinta

3
sekarang aku adalah pohon kamboja
dibawah pohon bambu, kunang-kunang
gemerisik angin menabuh batangnya
jangkrik katak melompat, semak-semak
dedaunan jatuh, bibirmu rapuh menjadi debu

4
aku berjumpa dengan seorang lelaki, bersarung, berkopiah
di makam ia memunguti dedaunan
kemudian aku bertanya:
“apakah engkau melihat seorang perempuan berambut merah ikal?”
ia menjawab: “ia sudah lama menunggumu
setelah memetik jambu, ia selalu menangis
memanggil-manggil namamu
di kamar mandi ia bercermin
menyisir rambutnya yang basah
sembari meraba-raba tulang rusuknya
kemudian ia berbisik:
“aku rindu engkau, kekasihku
tak lagi pada sepasang bibirmu””

Singosari, Januari 2006

Komentar

Postingan Populer