Langsung ke konten utama

Unggulan

Matahari, Koran, Pabrik Gula

 Mengayun pedal sepeda lagi, seperti ini seperti membuat jedah pada rutinitis. Bisakah saya bertanya kenapa kita membuat rutinitas, shidup, yang seperti pattern hidup, atau seperti kereta yang akan bergerak dengan deras hanya pada relnya... Ternyata kehidupan memang seluas-luasnya.. tapi kita hidup pada lingkungan yang menurut saya sangat terbtas. Apakah pada kerumuan orang di pasar apakah, kita mengenalnya, setidaknya bertegur sapa. Setiap papas yang berlintas pada jalan, apakah kita mengenalnya... bukankah anak adam ini begitu melimpahnya.. bayangkan bila kita diluar arena, misal kita d uar negeri, tiba-tiba kita bertemu dengan orang Indonesia.. pertemuan itu akan begitu berarti

Pria Bersorban Hitam

: mengenang gempa 27 mei 2006,
Jogja dan Jateng

1
Siapa mengetuk pintu sepagi ini. Tanpa salam maupun ucap permisi.
Aku buka pintu pelan, ada seorang pria bersorban hitam berdiri
di teras depan. “Bapak siapa,” kataku. Belum sempat tanyaku dijawab,
ia sudah melangkah masuk. Bukan lewat pintu, tak juga jendela.
Ia begitu saja hadir seperti udara. “Mencari siapa pak,” kataku lagi.
Tapi ia telah duduk di kursi ruang tamu sambil merokok. Aku bingung.
Aku masuk ke dalam kamar. Ia sudah rebahan di atas ranjang
memeluk istri dan anakku. Aku berlari ke kamar mandi.
Ia telah telanjang, mengguyur air dengan gayung sambil bersiul.

2
Di ruang tamu masih kulihat ia duduk, diam. aku takut.
Tiba-tiba ia berkata: “Aku ingin menjemputmu”. Aku kaget.
“Mau kemana pak” tanyaku. Ia jadi diam. Aku gemetar.
“Baik pak…, tunggu sebentar, aku akan berkemas.
Aku habiskan dulu secangkir kopi mimpi.
Kukenakan dulu sarung coklat kesayangan.
Aku sisir rambut dulu. Setelah itu kupakai
baju koko putih pemberian istri.”
Tapi tiba-tiba ia menyeretku. Hai…

3
Pria itu menurunkan aku di balai desa.
Tapi kenapa disini ada ayah dan ibu?
“Ibu dengan Ayah menyambut kedatanganmu nak,” katanya.
Aku juga melihat Marni istriku, bersama Ayu anakku.
mereka melambai kepadaku. Aku tersenyum.
Pakde, Bulek, juga datang. Pak Wasis dan Sartono,
tetangga sebelah menyapaku. Kemudian Rudi temanku,
menepuk bahuku dari belakang. Ia menjabat tanganku.
Semua orang di balai desa berjabat tangan, seperti lebaran.
Setelah itu kami kenduri bersama, di dalam tanah.
Bersama urukan jerit, tangis dan tanya.

Mei 2006

Komentar

Postingan Populer