Merenung Perihal Pemilwa*

Kira-kira tiga hari yang lalu. Di ruang keluarga sederhana yang kami punya. Televisi menjadi sesosok yang ditungu-tunggu, apalagi di saat pagi. Seolah-olah ia merpati yang membawa berita tentang negeri seberang seperti kisah-kisah sejarah kerajaan. Tentu televisi lebih praktis, lebih cepat, dan informasi pun menjadi berlebih dan terkadang hanya sampah informasi. Memang itulah kenyataan teknologi yang menyeruak di abad ini yang melewati batas-batas private sekalipun.

Maka itu pun juga sangat mengembirakan sekaligus membingungkan bagi kakek saya. Ia yang pernah hidup di era dimana informasi adalah barang mahal. Era dimana berpendapat nyeleneh sedikit menjadi harus dihilangkan. Sekarang dengan mudah ia peroleh informasi tentang korupsi di KPU, pembunuhan Munir, tentang Pilkada yang rusuh dan peledakan bom di Sulawesi. Semua hal terekam dengan baik dan ini membuatnya bertanya?—dengan nada putus asa dan ketakmampuan— “Sabenere sopo sih sing bener?, sing liane njaluk ngene, sing liane meneh njaluke ngono”. Sebenarnya siapa yang benar? Yang lain minta seperti ini, yang lain lagi minta seperti itu. Bagi saya pertanyaan ini membuat saya berpikir tentang dua hal. Pertama, negeri ini memang tak juga kunjung reda dengan carut-marutnya, apakah ini sebuah konsekuensi bagi negara yang berpaham demokrasi? Kalau Goenawan Mohamad pernah menulis dalam salah satu catatan pinggirnya. Demokrasi adalah sebuah sistem yang siap untuk kecewa. Tetapi ini membuat saya tertegun, bagaimana jika kekecewaan itu berujung pada kekerasan dan kematian? Dan ditulisannya yang lain tertulis: Bukankah kekonyolan demokrasi setidaknya bisa mengingatkan kita tentang satu hal: ruwetnya manusia? Kedua, sebenarnya apa yang diinginkan oleh rakyat? Terlebih bagi kakek saya yang hanya pensiunan serdadu rendahan, untuk hidup sehari-hari terkadang harus utang kanan-kiri. Atau bagi petani di pelosok, nelayan, buruh rendahan. Kalau selama ini saya masih percaya mereka hanya butuh kata sederhana: sejahtera dan kedamaian.

***

Pemilihan mahasiswa telah lewat. Saya tak memikirkan siapa yang terpilih? Tapi demokrasi ala mahasiswa itu yang membuat saya ragu? Dengan berdemokrasi berarti setiap mahasiswa mempunyai kesempatan sama untuk menentukan siapa yang dipercaya untuk memimpin. Jika demikian aturan mainnya, bagaimana seandainya mahasiswa tak serta merta merasa berkepentingan dengan Pemilwa. Toh, selama ini berganti presiden berulangkali pun tak menyentuh kepentingan mereka—setidaknya ini yang saya rasakan ketika kuliah hampir tiga tahun. Ingin daftar ulang semester saja selalu ruwet. Laku dosen yang mengajar seenaknya masih saja ada. Tak ada sebuah greget dari presiden yang lalu-lalu untuk membangun sebuah usul konstruktif konkrit yang bisa dirasakan seluruh mahasiswa fakultas ekonomi. Maka mereka memilih untuk apa?

Dengan tanya seperti itu. Bisa jadi tak ada spirit bagi mahasiswa untuk mencoblos idolanya.—atau memang tak punya idola untuk dipilih—. Jika begitu untuk apa mahasiswa yang sembilan ratus lebih itu memilih? Apakah memang mahasiswa kita sudah tak apatis lagi, sudah sadar akan hak pilihnya? Jika jawabnya ya, berarti kita boleh lega. Tapi kalau tidak? Jawabnya akan lain. Bisa jadi jawabnya tak menyenangkan dan gusar. Kalau saya mengatakan, mereka memilih tentu ada sebuah medium yang menjembatani. Bagi yang punya organisasi akan selalu identik dengan massa—sebuah kesadaran dari demokrasi, suara dan pendukung adalah penting—meski massa tak berkata “kami berpikir maka kami ada”. Massa justru sebaliknya. Seperti yang ditulis oleh kolumnis Goenawan lagi. Tapi bagi yang tak berorganisasi, berseberangan paham, yang ingin mencari kesempatan, pasti ada hal lain. Jawabnya bisa bervariasi. Jawabnya bisa hubungan teman, bahkan bisa jadi ada main uang. Di Pemilwa ini saya yakin itu ada. Meski tak tahu itu untuk apa, jika dilihat lebih dari sekedar makna harfiah? Untuk anda yang baru tahu jangan terkejut. Itu kan hal biasa di negeri kita. Sekalipun sekaliber mahasiswa yang biasanya berkoar-koar di jalan tentang keadilan, tentang kebenaran tak luput juga dengan laku itu jika dihadapkan dengan kekuasaan dan eksistensi.

Kalau memang jawabnya seperti itu. Pantaskah hasil pemilwa ini mewakili suara mahasiswa Fakultas Ekonomi. Benarkah suara mahasiswa suara Tuhan? Kegelisahan semacam ini yang pernah ditulis Tagore dalam novel Rumah dan Dunia. Novel yang pernah menjadi pemenang nobel sastra pada tahun 1913 yang berlatar belakang fakta historis Benggala-India 1905. Dimana pergerakan Swadeshi menggema. Bagaimana kegelisahan itu terwakili dalam sesosok Sandip yang culas. Seorang tokoh pergerakan yang revolusiner, radikal, progresif sekaligus kharismatik dan jantan. Tapi, dibalik itu ada sesuatu yang tak beradab. Saya memahaminya ada sebuah tumpang tindih antara perjuangan dengan kepentingan pribadi maupun kepentingan kelompok. Sebuah perjuangan yang bisa menghalalkan segala cara, bisa merampok membunuh, membakar penduduk sekalipun.—Lagi-lagi yang dikorbankan rakyat. Sekali waktu sang tokoh membutuhkan uang, katanya untuk dana perjuangan. Tapi uang itu dimintanya dari Bimala. Istri temannya yang terbius oleh karismatik Sandip.Dibujuklah ia dengan kata-kata berapi-api perihal perjuangan. “Uang itu harus kamu ambil dari simpanan suamimu. Bimala tampak terkejut. Setelah beberapa lama dia berkata: “Bagaimana aku mengambilnya?” “Bukankah uangnya itu uangmu juga”’ “Oh tidak!” katamu, “maka itu juga bukan miliknya, tetapi milik tanah air, yang dirampoknya, pada saat dibutuhkan!” Meski Bimala diakhir cerita sadar. Tapi terlambat. Kerusuhan menggema dimana-mana dan kalut.

***
Tulisan ini pun saya tulis bukan maksud saya adalah seseorang yang suci. Bukan dimaknai hal dengan hitam dan putih. Tapi setidaknya ada yang tidak “benar” disini. Dan kita “harus” tahu itu dan “moral” kita adalah menyampaikanya. Jika tak disudut sebagai mahasiswa apatis.

Mungkin prihatin yang disampaikan kakek saya hari yang lalu itu adalah ini. Hilangnya sebuah generasi yang menghargai jasa-jasa pahlawannya. Menghilangkan sebuah sejarah berdirinya negeri ini. Padahal nama Indonesia dengan segala atributnya tak ujug-ujug datang. Ada nilai-nilai historis disana. Kakek saya yang pernah hidup di paska-kemerdekaan itu tentu merasakan hidup susah di negera yang “kemerdekaan”nya di usik. Maka tak salah kalau ia mengatakan “Le,e pejuang-pejuang bien ndelok saiki, nangis paleng?” Kalau pejuang-pejuang dahulu melihat keadaan sekarang, menangis mungkin? Tentu saja kakekku adalah salah satu seorang yang merindukan keadaan yang tak kunjung tiba itu. Meski ia harus menghela napas panjang jika melihat pemilwa ekonomi saat ini. Bisa jadi keadaaan tahun-tahun ke depan negara ini tak banyak berubah dengan keadaan sekarang. Jika generasi saat ini di tingkat mahasiswa saja ada yang tak jujur. Tentu: sejahtera dan kedamaian masih lama, dan lama….. entah sampai kapan?

--------------------------------------------------------------------------------------
* pemilwa: Pemilihan mahasiswa, mirip dengan pemilu tapi untuk mahasiswa
> Tulisan ini saya tulis untuk merespon ada ketidakberesan di pemilwa
> dipublikasikan tahun 2005 lewat pamflet fotokopian disebar sekitar kampus

Komentar

Postingan Populer