Langsung ke konten utama

Unggulan

Napak Tilas waktu

MENERIMA manuskrip puisi Imung Mulyanto, seakan tak sabar saya segera membacanya. Sebagai seorang jurnalis tulen, Imu­ng Mulyanto adalah sang terampil pengolah seluk beluk frasa dan kata. Tentu saja uraian kalimatnya bakal purna tersaji dalam barisan puisi. Malang melintangnya dalam berbagai peristiwa, perjalanannya ke berbagai arah membuat puisinya kaya de­ngan nilai. Meski jiwa jurnalisnya telah mengakar, tapi da­ging kemanusiannya tak dapat dibendung untuk turut memberi simpati dan empati. Dengan puisilah hal tersebut dapat ditam­pung, jiwa-jiwa manusia terdalam. Simak puisi ini; Mengapa di Santerra De Laponte tak ada kemarau? / Padahal di rumahku panas dan gersang,/tak bertumbuh bunga cinta setangkai pun! Bukankah kemarau pe­ristiwa alam yang biasa dan wajar? Apa hubunganya dengan rumah dan tumbuh bunga cinta? Bagi saya itu ruang penyair.  Pada bagian 1, Imung Mulyanto seakan menyambangi berbagai peristiwa alam, flora fauna seolah membisik pelan pesan-pesan, dan si penyair me...

Tariklah aku bersenandung denganmu


Kadang aku tak sadar berada di mana
Terkadang juga tubuhku lapuk menjadi serpih-serpih
Terhanyut seperti debu
Terbang ke langit bersama pasir

Kadang aku melihat dunia membelah
Mungkin juga wajahnya telah menjadi dua
Tak terasa tubuhnya menggigil kedinginan
Membeku mesunyikan desah nafasku

Berteriaklah wahai malam
Berteriaklah wahai kehidupan
Agar aku disini tak terbujur kaku
Melihatmu menari bersenandung aromamu

Hai udara semesta
Tariklah aku melenggok bersenandung dengan pinggulmu
Tetapi getaranmu tak kunjung datang
Aku semakin kaku membeku seperti salju

Ayolah setubuhi aku
Rayulah
Menari bersama remah-remah tubuhmu

Ah ternyata tubuhku semakin menggigil tersisih
Keranjingan dengan lagu sendu lagi memuakkan
Aku benci.
Biar tubuhku hancur remuk di telan ketololan
Biarkan tubuh ini berserak damai dengan sejuta tanya

(Mlg, 14/9/03)

Komentar

Postingan Populer