Menyeberang: Sebuah Proses Kreatif

 photo _MG_0237copy_zps2b81320d-1_zps4674fec0.jpg 
Kerajinan puisi saya akhir-akhir ini seperti menandakan usaha dan kehendak “menyeberang” dari apa yang selama ini saya tekuni, menyeberang – dan barangkali juga memberontak ke sudut pandang lain. Untuk itu dalam kumpulan puisi halte sastra ini, sengaja saya kirimkan puisi dalam urutan tahun penciptaan. Sehingga diharapkan pembaca dan juga pengkritik melihat kecenderungan-kecenderungan tersebut. 
Hal tersebut bisa juga tidak penting bagi pembaca. Mungkin, ada hal lain yang lebih penting barangkali dari hasil pembacaannya, itu sah-sah saja. Tetapi perasaan dan pemikiran saya akhir-akhir ini dalam ketegangan untuk berusaha keluar dari yang lalu itu. Dan itu tidak mudah. Saya cukup bersusah payah mengakali alam bawah sadar saya. Selama ini hasilnya belum terlalu menggembirakan. Rupanya kebiasaan lama telah mengurat dan berakar pada tubuh saya. Setidaknya puisi – puisi yang tertulis dua tahun terakhir ini adalah usaha untuk menyeberang itu. 
Kehendak menyeberang itu juga sudah barang tentu hasil dari pergumulan saya dengan puisi dalam beberapa tahun terakhir, membolak-balik buku antologi puisi, mengkliping koran, maupun berselancar di dunia maya. Barangkali saya lebih suka membaca puisi, menanti, dan menunggu sesuatu yang mengejutkan dari kegaiban sebuah puisi daripada berasik-masyuk menulis puisi itu sendiri bila menilik produktivitas menulis saya. 
Dari awal semenjak sekolah menengah pertama dulu ketika menulis puisi pertama sampai sekarang, kuantitas penciptaan saya tidak cukup membanggakan. Hanya segelintir saja. Barangkali saya juga tidak pernah bersunguh-sungguh menulis. Tetapi, puisi dan seni seperti tidak pernah hilang dalam kehidupan sehari-hari saya.  Dalam puisi seperti ada sebuah jalan untuk meneroboskan kehendak perasaan yang tidak masuk akal, tetapi dalam sisi yang lain saya juga hendak menceritakan yang masuk akal. 
Saya ingin menyuarakan suara terpendam, ironi, dan ambiguitas dalam kehidupan sehari-hari saya. Saya merasa ada kewajiban mengatakan sesuatu. Untuk itu saya juga mengalami ketegangan antara bermain-main dan menyuarakan sesuatu, katakanlah “kebenaran” dan paham lain. Untuk menyuarakan ini saya hendak mengerem sekuat tenaga. Barangkali akan saya loloskan dalam prosa bila saya mempunyai stamina bagus.
Menyeberang ternyata semacam perubahan saya dalam melihat puisi dan sikap kepenulisan. Jauh sebelum ini saya memandang puisi sebagai kesakralan, seperti sebuah penubuhan diri saya dalam puisi. Maka puisi yang sudah tercipta haram hukumnya ketika saya ubah dan utak atik lagi di kemudian hari. Dia adalah anak batin perasaan saya saat itu, yang menggambarkan waktu dan kejadian saat itu. 
Saya seperti seorang pencatat dan perekam perasaan yang sentimentil. Tentu saja saat itu saya sangat terpesona dengan senja, hujan, kekasih, taman, cinta, embun, serta peristiwa dan diksi sejenisnya. Saya mengagungkan “kehalusan” dan “kesantunan” dalam berpuisi. Dengan laku pendekatan tersebut saya seperti sedang menunggu sesuatu dari tubuh saya untuk didatangi ilham. Hingga tiba pada suatu titik, ilham dan telaga kesyahduan itu pergi. 
Saya pun mengalami kebuntuan. Seperti juga dialami banyak penulis lain yang tak kunjung menemukan bentuk yang tepat pada dirinya. Saya juga seperti hendak meninggalkan kepenulisan itu. Menahbiskan diri sebagai penikmat saja. Dan akan menekuni bentuk seni yang lain seperti fotografi, ilustrasi, maupun lukisan. Tetapi pembisik itu selalu datang dan menuntun saya ke arah lain. Pertanyaan seperti ini pernah saya tulis dalam pengantar buku puisi pertama saya, “Awal Mula” diterbitkan terbatas tahun 2008. “Apakah sastra menjadi bagian dari kehidupan saya nanti, bergelayut, dan berkelindan dengan diri saya? Jawaban sekarang pun juga tak pasti.” Ternyata empat tahun kemudian saya masih berada dalam kehidupan sastra itu.
Sampai suatu ketika saya membaca artikel sebuah surat kabar yang memuat wawancara dengan Remy Silado tentang stamina kepenulisannya yang mengagumkan di usia yang tidak muda. Yang paling saya ingat dari artikel itu adalah pernyataan Remy Silado yang menyatakan dia tidak lagi menunggu ilham, tetapi malah menjemput ilham. Dengan metode tersebut dia bisa menulis tiga novel sekaligus secara bergantian. Sebuah metode yang sangat mengagumkan menurut saya. 
Akhirnya, saya meminjam metode tersebut dan mendatangi berbagai ilham yang sebenarnya tidak jauh dari tubuh saya dan kehidupan sehari-hari saya. Saya hanya memekakan diri dengan kehidupan sekitar saya. Mulai dari menonton film, mendengarkan musik, menikmati sebuah lukisan, fotografi, maupun sejenis. Saya juga tetap membaca koran dan buku. Ternyata saya berhasil membuka kepada tema-tema yang sebelumnya tidak pernah saya kunjungi. Untuk itu tercipta puisi Penggendam, Pembiak Kata, Sampo, Kebotakan, Tualang Kopi, dan puisi-puisi yang tercipta dua tahun terakhir. 
Pandangan saya terhadap puisi pun mulai beralih ke sebuah paham yang menempatkan puisi sebagai keterampilan dalam mengolah bahasa. Dia adalah hasil dari kerajinan penulis, yang bisa memotong dan menambah bagian-bagiannya.
Selain itu saya mulai menimbang roh puisi saya. Puisi “santun” seperti menjauhkan dari kesadaran sehari-hari saya yang serba cepat dan tidak manusiawi. Saya seperti membohongi diri sendiri. Untuk itu saya mulai mengedit kamus puisi saya dan skeptis. Entah itu karena efek saya asik menikmati musik underground dengan distorsi yang menyesakkan. Atau saya begitu terpesona sebuah puisi dari penyair lain yang saya pinjam dan bahkan hendak saya tuju. Seperti puisi “Kisruh” A. Muttaqin, Roh puisi karya Mardi Luhung meski saya tidak suka sebagian besar sajaknya. Puisi Patigeni Mashuri. Atau pun sajak-sajak Afrizal Malna. Atau kekaguman besar saya pada fotografi karya David Lacha Pelle (www.davidlachapelle.com) yang mengusung surealisme, pop-art dengan ironi disana sini. Betapa saya kagum dengan kesontoloyoannya. 
Saya sebenarnya seperti terombang-ambing dalam laku kultur pedusunan dan perkotaan. Saya seperti bayi yang tak menjejak ke asal muasal dan bingung melihat jati dirinya. Maka dengan itu saya dengan seenaknya mendatangi peristiwa  dalam laku perkotaan sekaligus seperti turis yang memotret dan kagum pada peristiwa pedusunan. Hal tersebut persis saya temui dalam film-film horor Indonesia tahun 80-an, khususnya film Suzana. Bagaimana peristiwa mistis dengan setting perkotaan bercampur baur. Masyarakat kota yang menghambakan rasionalitas ternyata masih percaya pada hal-hal yang mistis. Saya pikir itu pun masih terjadi disekitar saya.

-----------------------------------------------------------------------------------------------
Ditulis untuk acara Halte Sastra yang diadakan Dewan Kesenian Surabaya, tanggal 26/1/2013 di galeri DKS, balai pemuda surabaya.

Komentar

Postingan Populer