Sajak Yang dimuat Jawa Pos 8 Januari 2012

Photobucket

Photobucket


Mitos Kamar Tidur:Ucapan Terimakasih untuk Widya dan Anhar

Terimakasih kamu persilahkan aku becermin di kepalamu,
meski rambutmu telah beruban dan rontok, masih saja nikmat
bersolek dan memantas-mantaskan topiku. Biar aku tak malu
bila bertemu kamar tidur.

Terimakasih kamu perkenalkan aku kepada kamar tidurmu.
Di tubuhnya yang bergambar batik dan bunga-bunga, tersimpan
banyak biji mata. Kamu tunjukkan bagaimana menyeka airmatanya
bila ia sedang berduka. Dan menusukkan luka bila ia keras kepala.
Kamu ajarkan ia menjadi anak yang tak boleh tumbuh dewasa.

Singgah

Ia menengadah ke angkasa

Seperti ada yang menatapnya manja
bersembunyi di sebalik awan, di antara
kerumunan kicau burung.

Seperti ada yang menyentil daun-daun
dan juga jemuran sarung. seperti ada yang
melambai, yang membuat rambutnya terburai.

Seperti ada yang menggemerincingkan air,
melumutkan dinding. seperti ada yang berbisik,
merambat di kuping.

Seperti ada yang menggesitkan cahaya
di dedahan, kemudian menggambar di permukaan.
seperti ada yang mengintip, ingin menyampaikan pesan.

Seperti ada yang menunjukkan jalan
kepada debu, membuatnya bersayap seperti kupu-kupu
kemudian hinggap di matanya.

Seperti ada yang memberinya kado waktu,
tempat ia menanggalkan amuk di tubuh
memudarkannya di angkasa.

Pria Bersorban Hitam: mengenang gempa 27 mei 2006, Jogja dan Jateng

1
Siapa mengetuk pintu sepagi ini. Tanpa salam maupun ucap permisi.
Aku buka pintu pelan, ada seorang pria bersorban hitam berdiri
di teras depan. “Bapak siapa?” kataku. Belum sempat tanyaku dijawab,
ia sudah melangkah masuk. Bukan lewat pintu, tak juga jendela.
Ia begitu saja hadir seperti udara. “Mencari siapa Pak?” kataku lagi.
Tapi ia telah duduk di kursi ruang tamu sambil merokok. Aku bingung.
Aku masuk ke dalam kamar. Ia sudah rebahan di atas ranjang
memeluk istri dan anakku. Aku berlari ke kamar mandi.
Ia telah telanjang, mengguyur air dengan gayung sambil bersiul.

2
Di ruang tamu masih kulihat ia duduk, diam. aku takut.
Tiba-tiba ia berkata: “Aku ingin menjemputmu”. Aku kaget.
“Mau kemana Pak?” tanyaku. Ia jadi diam. Aku gemetar.
“Baik Pak…, tunggu sebentar, aku akan berkemas.”
Aku habiskan dulu secangkir kopi mimpi.
Kukenakan dulu sarung coklat kesayangan.
Aku sisir rambut dulu. Setelah itu kupakai baju koko putih pemberian istri.”
Tapi tiba-tiba ia menyeretku. Hai…

3
Pria itu menurunkan aku di balai desa.
Tapi kenapa disini ada ibu dan ayah?
“Ibu dengan Ayah menyambut kedatanganmu Nak,” katanya.
Aku juga melihat Marni istriku, bersama Ayu anakku.
mereka melambai kepadaku. Aku tersenyum.
Pakde, Bulek, juga datang. Pak Wasis dan Sartono,
tetangga sebelah menyapaku. Kemudian Rudi temanku,
menepuk bahuku dari belakang. Ia menjabat tanganku.
Semua orang di balai desa berjabat tangan, seperti lebaran.
Setelah itu kami kenduri bersama, di dalam tanah.
Bersama urukan jerit, tangis, dan tanya.

Blur
setelah kesedihan meninggalkanku,
siapa lagi yang sudi merawat semua luka
yang menahun di tubuhku.
ketika kegembiraan juga menutup jendela rumahnya,
saat aku ingin mendengarkan dongeng
dari mulutnya yang merah.
: hanya angin yang meniup daun-daun kering
debu seperti segerombolan kutu
menggatali mataku yang seperti batu.

Lima Menit dari Televisi Kami seperti mencari
padanan yang pas
dari rongsokan mitos
dan ketakutan.

Esok hari bagi kami
seperti lubang hitam
dan kami pasrah saja.

Atau barangkali
kami hanya mampu
sekali bergaya,
membeli sebatang rokok,

nampang di depan
kamera handphone,
melipat bibir paling seksi,

klik

Ah, kami memang
setolol mereka
dalam televisi dan poster.

Selalu menenggak racun
dan pura-pura tertidur

Komentar

Postingan Populer