Unggulan
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Yang Berkelok Yang Menukik, 18 Tahun Perjalanan The Sukudalu
BUNYI barangkali suatu zat, atau entitas, bahkan bisa jadi energi yang terlontar dari getaran udara dari benda bergetar. Bunyi barangkali sama purbanya dengan Tuhan menciptakan kehidupan di bumi ini. Kira-kira begini ceritanya; ketika ledakan dari batu-batu bertumbukan dalam proses penciptaan itu, ruang antar jagat menyisakan pasir yang menyerbuk, petir-petir bersahutan, awan bergulungan menghitam tebal. Tiba-tiba Adam terperosok dari ranting-ranting pohon yang patah, bergemeretak. Krosak-krusuk, serangga-serangga melengking, burung-burung berkaok, macan menggeram, anjing melolong, auuuwww, dalam peristiwa sahut menyahut itu seperti tercipta harmoni bunyi.
Sebagai orang yang menekuni aksara, yang suntuk dalam mengawang imajinasi. Aksara bagi saya adalah bunyi yang ditaklukan sedemikian rupa dalam proses wicara. Terlebih dalam puisi, ketika tegangan frasa, jedah dalam koma, kata yang terpilah, yang dibayangkan si penyair bakal memercik bunyi kemudian arti— jika memang ada, menunjukkan dalam tradisi puisi, bunyi pun mengerak membulat mengiringi hiruk pikuk peradaban manusia.
Dalam proses wicara itu lah bagi saya bunyi mengembang dalam ragam bentuk produksi tanda. Bunyi dalam bentuk paling canggih membentuk bahasa pada manusia untuk bertukar pesan menyambungkan pengetahuan kepada sesama. Dalam ragam lain bunyi mencipta musik dengan kombinasi harmoni, melodi, ritme, dan seterusnya.
Bila pun saya tiba-tiba bertemu sebuah band bernama The Sukudalu di platform Spotify, saya seperti sedang menemukan klarifikasi ragam bentuk bunyi termutakhir. The Sukudalu dalam bundel buku ini adalah band yang bermukim dan tumbuh di Sidoarjo—sebuah kawasan pesisir yang konon tercipta dari gundukan lumpur arus sungai besar Brantas. Mereka sedang mencatat biografi perjalanan panjangnya yang berkelok, menukik, kemudian bertengger dalam lintasan waktu sebagai jedah. Sebelum mendendangkan lagi bait-bait lirik suaranya dengan riang.
The Sukudalu dalam buku ini adalah band musik, dari lagu Fly Me dengan terang mereka mendefinisikan musiknya sebagai Rocknroll, Punk, Ska, Hardcore. Bagaimana bentuk musiknya, silahkan saja play di Spotify. Tapi bagi saya, seseorang yang sekadar penikmat musik yang menghabiskan berjam-jam waktu menyumpal telinga dengan beragam musik, saya menyebutnya sebagai band Ska yang unik, atau setidaknya musik mereka mampu mengganggu perhatian saya untuk memutar lagu-lagu mereka berulangkali.
Meski hampir saja saya terkecoh, dalam lirik-lirik Inggris itu, saya membayangkan The Sukudalu adalah band dari sebuah negera federal di Amerika Serikat, dimana musik-musik alternatif berkembang pesat, tapi The Sukudalu adalah band Ska dari Sidoarjo. Kawasan yang tak lekang waktu harum dengan lezat gurih petis. Memang terdengar udik, ndeso, dan mungkin terpencil dalam arus wacana global, apalagi bila menyangkut soal musik Ska. Dimanakah letak kesinambunga antara kata-kata berikut; Ska, Sidoarjo, The Sukudalu, pesisir, musik, bahkan nahdliyin.
Bisa jadi ada pesona luar biasa yang menjadikannya energi penghantar bunyi Ska ke daratan pesisir delta ini. Berapa jarak geografis Jamaika ke Sidoarjo? Berapa rentang waktu musik Ska tercipta hingga menyusup ke telinga anak muda Sidoarjo? Saya sekadar mengulik ke Wikipedia menemukan kalimat; Ska adalah genre musik yang berasal dari Jamaika pada akhir 1950-an, dan merupakan pendahulu rocksteady dan reggae. Ska menggabungkan unsur-unsur musik mento dan musik kalipso dari Karibia dengan jazz dan rhythm and blues dari Amerika Serikat. Gimana ya apa musiknya, sekali lagi play saja The Sukudalu di Spotify.
18 tahun berlalu, saat rentang itu The Sukudalu dalam buku ini bercerita hiruk pikuk band yang melintas dengan beragam kaki, seolah menantang personilnya untuk menciptakan beragam harmoni dengan lentur. Karya apapun, dalam susunan apapun, dengan berbagai paham apapun, selalu saja mengalami ketegangan ketika si jabang hendak merucut ke khalayak. Apakah aku bakal dicinta? Tapi bisa jadi pertanyaan itu bisa ditiadakan sembari menggerutu; peduli amat siapa yang berkhidmat, bila kehadiranku cukup ada?
Sebagai seseorang yang cakap bermusik, The Sukudalu saya pikir purna dalam berkarya. Tapi kadangkala premis tersebut tidak cukup untuk menghadapi dunia yang disusun dari kegiatan jual beli. Apakah ada keselamatan di luar praktik itu? Saya tidak punya formula matang untuk menimbang, bagaimana karya atau bahkan produk kebudayaan bisa mempengaruhi khalayak luas, hingga melampaui ruang, jarak, dan waktu. Tentu saja banyak argumen dan wacana, meski selalu ada pertanyaan bagaimana produk tersebut langgeng, secara alamiah atau di-creat? Tapi bisa jadi pertanyaan itu sekadar basa-basi belaka, bukankah digitalisasi hampir membuat apapun menjadi anonim. Ruang digital hampir mengaburkan antara yang maya dan yang nyata, mana yang fiksi mana yang fakta. Siapa peduli The Sukudalu dari Sidoarjo? Seharusnya saya cukup manggut-manggut saja, menikmati lagu Walking On The Rainbow sambil membayangkan goyang pogo mengikuti musik.
Menikmati The Sukudalu bagi saya seperti sedang bernostalgia ketika saya menghabiskan banyak waktu di layar kaca, mendengarkankan lagu Come on Eileen dari Save Ferris, menikmati siaran MTV. Selamat membaca ...
Ferdi Afrar
Penyair
Gambar: Arsip The Sukudalu
Postingan Populer
Matahari, Koran, Pabrik Gula
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Kutipan Bertenaga 14 - Hasan Aspahani
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Komentar