Dalam Antologi Puisi Halte Sastra

 photo _MG_0531copy_zps64b765a1.jpg

 photo _MG_0533copy_zps6c9fbcb2.jpg


Tualang Kopi
di lengan dedahan pokok
kami pentil tersabar, mendongak
dan melongok pada tingkap petang antariksa.
sembari merapal doa dan tafakur – akan segera tiba,
akan segera tiba meninggalkan muasal menuju tualang.
sungguh ini tak sekedar perjalanan ketertundukan.
seperti suratan pengembara tersedak buah
pada jakun dan payudara. atau ngilu leher
kambing kurban pada meja persembahan.

akan segera tiba mereka menjemput,
yang mengasah taring dan pisau kuku
dan memburaikan liur geraham.
yang berkelebat pada gelap samar bulan,
seperti mekar kelelawar yang menawar rasa lapar
atau cakar musang mengintip daging merah pilihan.
mencicipi manis-getir sari sari.

maka kami jalani kodrat tamasya
dalam kerongkongan dan jeroan.
atau kami akan tengadah dalam jemuran pekebun,
merelakan sebagian dari badan disesap matahari
hingga kisut-kusut langsai. hingga sampai-sampai,

di tangan pekebun itu kami tergelincir
di pinggir tubir ujung jari asap limpahan
penuhi wajan penggorengan dan seisi bedeng.
masak-masak! gulingkan gulingkan.
agar bara blarak hantarkan gurih menir,
dan cukilan kambil merasuk ke daging.
sutil yang meratakan uap panas tungku
menguningkan kuku dan mensoklatkan kami,
yang kian renyah terpanggang dan meronggong.

adakah gosong telah menjadikan kami hamba
bebijian tabah yang terpilah dalam tampah,
akan sempurna dalam penggilingan atau
tumbukan lesung alu.

sungguh kami telah girang terhidang dalam perjamuan,
bersamamu, ketela goreng dan serbuk susu
dan seseorang di seberang yang bersikeras
menulis sajaknya yang kian gagu.

2012

Kebotakan

: kami yang mengutil rimpang,
 bakal benang yang menjulur panjang
 kami yang menabur kemenyan
 agar tidurmu semekar kembang.

kepada cermin kami tak mampu sembunyi
ihwal klimis ubun yang kian tanggung,
berjalan gontai menapak matahari
atau memilih berserah diri kepada topi.
pada yang membayang dipermukaan
lekat-lekat kami menatap, dan mengusap
putih-mulus itu agar dapat terurus.
kembali menumbuhkan surai panjangnya
hingga kami bahagia mengepangnya
atau menggerainya. memantaskan paras
paling pas, menuntaskan cemas.

sekian petang sebelum terlelap,
kami tekun lamurkan pada gundulnya.
segala bentuk ramuan: dari minyak biawak,
panggangan kemiri dan kadal tambak
telur ayam hitam yang kami cepluskan
hingga kembang-kembangan,
agar diatas sana terjadi keributan:
para prewangan yang berjumpalitan
menjambak yang tak tampak,
menggeremengkan sekian sajak
menarik liat urat setampak kawat
mendelujurkannya ke arah kiblat.

tapi topi dan capil terus saja bersiasat
menawarkan tudungnya yang lembap,
agar kami tampak memikat.
tidak terbakar pada siang,
seperti penggembala menunggang kuda
dengan gacoan yang manja,
menghalau sapi dengan tali.

kepada cermin di bilik tidur ini
kami kembali tak mampu sembunyi.
yang terus membayang bulat diparasan.
yang mengenang, bagaimana sisir
mencium liat kepada rimbun dan lebat.

2012

Genduk

engkau yang kerap membuat cemas,
gumukmu menyaji lugas

kami yang tertahan di ujung ubun,
yang mengencangkan panggul

engkau sabetan kuas nan lancip
melengkung ke tingkap birahi

kami pemain harpamu,
menyentil senar ke ujung susup

engkau perigi yang diselipi kantil,
juga kenanga yang merawat rahasia

kami perajin gerabah,
mengaduk liat hasrat ke ujung mega

engkau selapis ketan,
yang tersaji klimis bersama parutan

kami jemari yang mengelus pelan,
lembah bakung mahkotamu

engkau irisan pepaya,
yang menghenyakkan watas purba

kami pengendara tersesat,
diujung sempit alis matamu

2012

Taksidermi Kata
          ~ Meminjam Lukisan Berburu Bantengnya Raden Saleh

keributan dalam celah kalimat sebuah sajak:

belum menutup benar matanya yang binal,
ketika kami menohokkan sebuah tumbak
ke pundaknya yang berlemak. seketika badan
segarnya terjungkal ke arah kanan.
dengan gemetar kami seret dagingnya
dari gelanggang, saat petang lengang itu.

dengan kesabaran petapa, antara diam dan mendaras
kami menunggu yang hendak tampak bergegas.
menguar keras dalam bahasa. berkelebat dalam
benak, yang bersembunyi dalam alam rasa.
yang tiba-tiba menyeruduk ke arah muka,
kami mengelak-menjeratnya dengan kelihaian pencak,
sigap kuda-kuda.

di pendapa, badan sintalnya kami gantung.
kami garit lambungnya agar pisah jeroan dengan kulitnya.
kami samak tampangnya agar bertengger sangar dalam kaca.
mengkilap dalam kalimat, berkacak dalam sajak.

2012

Penunggang Trampolin
          ~ di pertigaan sebelum jalan raya besar

kami akan merambat, merapatkan temali sepatu kami
agar segalanya terukur. agar kemungkinan dapat diterka
saat kami akan melangkah. agar kesedihan tak segera tumpah
di waktu-waktu yang tak semestinya.
kami akan menyerakkan kuping kami, di gang,
di geronggang, di lipat aspal tapal yang kami tunggangi.
teluh dan telempuh yang selip, di celah roda kami
yang meruncing. itu yang membuat kami selalu kuatir
di tikungan itu adalah ujung nasib kami.
di ujung jalan ini mula petualangan kami berakhir.
sebelum kami mampu mengarungi perasaan: rindu-dendam,
putih-terang, gelap-garang, memenuhi meja makan kami.
pukul enam yang pucat pasi. setelah sarapan terakhir,
kami menunggangi trampolinmu yang abadi.

2011

Penggendam
bukalah pintu sayu matamu
teras kosong yang terlupakan.
kami akan diam-diam meletakkan bandul jam,
juga lentik mantra agar kau tak terjaga
dari kegembiraanmu menghitung domba
melompat dari bimbang ke bimbang,
berselimut bulan.

kami akan berjumpa di lubang ketidaksadaran
kemudian kami ikhlaskan setengah jiwa kami
berdiam pada kerling mata: perabotanmu yang
mengering, perasaan-perasaanmu yang kumal,
halaman-halaman kosong yang akan kau tulis tentang
kehilangan. ketika itu kami hanyalah ingatan yang mampir,
yang bolak-balik menyembul dan tenggelam dari balik
kenangan.

2011

Pembiak Kata
sepertimu kami memilah kata.
pada parasnya, pada garing nyaring suaranya,
pada kemolekan dan kesintalan dagingnya.
kami jejerkan, kami luruskan, agar tak ada yang
mencong apalagi bengkong.
kami letakkan kata pada tempat
yang membuatnya bahagia.

kami kesepian, memutar nasib
seperti mengulangi percobaan bunuh diri.
sepanjang hari gentar memutar gasing di punggung.
kami letih dan mendamparkan tubuh di garasi.
di atas meja, di temaram cahaya,
kami bersendempel pada kata.

tiba pada gelap
kami bermalam pada lamunan
yang membuat kami terasa akrab.
berdua melompat-akrobat dicelah kalimat. melawan
gigil jam dan rayuan bantal.
 menapaki puncak paling sunyi.
ke negeri asing paling gaib,
yang belum pernah kami temui.
bersamanya kami berkelana mesra
hingga subuh bercahaya.

2011

Pengabar
tidakkah kau merasa cemas
bermilyar detik bunyi tik tok
merambati kuping kami.
serupa orkestra sarapan
tangan kami gemetar
garpu dan sendok berkelontengan
di ladang-ladang pertempuran: piring nasi.

kami rajin mengusap kaca jendela
dari sisa embun agar tak ada yang rabun
dari debu agar tak ada yang meragu.
agar tak ada yang luput dari kekuatiran.

pada kordennya kami lubangi,
dengan hati-hati kami kucur-kacirkan tabungan air mata,
untuk menyambutmu.

pada jam yang berjumpalitan,
ketika lengan angkanya terbalik
menuju satu titik
                    ke cakrawala
                          ke pusat segalanya mengabur
                                                                 bernadir.

2011

Mimis
sungguh bagi kami arah ke depan sana tampak lunak
dan mata pijar ketika lontaran salak yang pertama
akan melabrak siapa saja yang hendak mengelak.

di keremangan, dan moncong lubang bidik yang telah menyipit
akan bermadah: kami yang terlahir buta,
akan memacu kecepatan hanya untuk melubangimu.
maafkan kami daging segar yang rekah.

dan jemari kami yang bermimpi memagut pelatuk abadi
akan menarik pegas jauh ke ujung tangkas, memangkas segala
yang tersamar dipermukaan.

2011

Lima Menit dari Televisi
Kami seperti mencari
padanan yang pas
dari rongsokan mitos
dan ketakutan.

Esok hari bagi kami
seperti lubang hitam
dan kami pasrah saja.

Atau barangkali
kami hanya mampu
sekali bergaya,
membeli sebatang rokok,

nampang di depan
kamera handphone,
melipat bibir paling seksi,

klik

Ah, kami memang
setolol mereka
dalam televisi dan poster.

Selalu menenggak racun
dan pura-pura tertidur

2011

_________________________________________

Antologi puisi ini bersama Khalil Tirta Segara, penyair dari Pasean, Pamekasan- Madura. Yang bergiat di Komunitas Tikar Merah.

Buku ini diterbitkan oleh Dewa Kesenian Surabaya, Jl. Gubernur Suryo 15 Surabaya.
Acara diskusi dan baca puisi ini digelar tanggal 26/1/2013 di galeri DKS, balai pemuda surabaya.

Komentar

Postingan Populer