Bangsa Ini Bangsa yang Sakit

Photobucket

Bangsa ini bangsa yang sakit, begitu Drum mengatakan. Sebuah karya film apik tentang sebuah bangsa—Novel tanpa huruf R.. Bangsa kita memang terlalu lama sekarat.
Film yang merefleksikan kesekaratan bangsa, tempat dimana Drum dibesarkan. Permainan konflik seakan menjadi hidupnya. Mulai dari ibunya yang berteriak, berlari untuk mencari celah untuk hidup, tak terselamatkan. Nyawanya melayang oleh penduduk desanya sendiri.
Hari-hari terasa semakin panas. Bangsa tidak menunjukkan beranjak dari ketamakan orang-orang sok kuasa. Seperti juga dengan Drum terbiasa dengan darah sapi di rumah penjagalan. Tapi hatinya terus bergejolak, menyeriang seperti macan. Walaupun kesadisan seakan-akan menjadi rumahnya. “Konflik ideologi, perang antar golongan, dan perebutan kekuasaaan antar binatang-binatang belaka dan selalu melahirkan korban” gejolak dalam diri Drum yang meronta seperti kurban disembelih, yang tak sabar menunggu dipanggil surga. Angel kekasihnya pun tak luput terbantai, saat beribadah di Vihara. Seakan ia tak percaya. Tapi ini adalah realita hidup bangsa kita. Dimana darah adalah kesenangan, tangis sebagai hiburannya, dan kesadisan merupakan komoditi potensial pasar. Moralnya adalah moral pasar, yang menentukan semua adalah pasar. Bosnya mengatakan, “tai kucing dengan idealisme”, sekali waktu ia dipanggil karena fotonya dimuat—foto korban pembunuhan. Ia mengatakan, “Bakar semua foto-foto itu, ini semua sudah keluar dari fungsi media.”
Bangsa ini bangsa yang sakit, begitu Drum mengatakan. Institusi pendidikan, wadah tunas bangsa ditempa untuk menjadi manusia berkualitas. Tak hanya intelektualnya tapi juga moralnya, tak lepas dari kesadisan. Masih ingatkah, Ery Rahman pelajar STPDN mati karena penganiayaan seniornya. Mereka berdalih “Tindakan itu merupakan sebuah upaya penegakan disiplin bagi praja muda (yunior) secara internal.” Loyalitas semu yang berdiri diatas senioritas. Melahirkan tunas-tunas beringas. Kultur hajar-menghajar seakan menjadi hobi pelajar. Ironis.

Apakah hati kita tak berontak, mengelus dada. Maret 1999, Ambon. Rinjani dan Ahuru “Subuh berdarah” meletus. Bagaimana sentimen antar umat mencuat. Kelewang, panah berterbangan siapa tak kecut. Kemudian tangis menjadi tambal sulamnya. Itu pun tak mempan, karena kita selalu bersembunyi atas nama agama. Kamu kafir, kepalamu halal untuk dipenggal. Kepalamu ditangan adalah wujud dari kehormatanku. Hatimu kumakan adalah tahtaku. Dan aku akan masuk khayangan dengan kesahidan.
Penyakit kanibalisme seperti menjangkiti bangsa kita. Teringat film dokumenter Amerika, saya lupa dengan judulnya. Beberapa pemuda Amerika yang melakukan ekspedisi ke pedalaman hutam Amazon. Menemukan suku primitif yang tak tersentuh oleh dunialuar. Mereka begitu purba, hidup dalam keterbelakangan. Karena pendidikan tak ada, maka maklum kesadisan adalah aturan. Seorang wanita, mungkin istrinya. Disiksa oleh laki-laki. Maaf kewanitaanya dihujam senjata tajam. Kalau saya menafsirkan wanita itu telah melakukan kesalahan dengan laki-laki lain. Ia dibunuh dengan sadis. Mayatnya pun diupacarakan dengan kepercayaanya dengan dihanyutkan ke sungai. Sakral. Bahkan mereka memakan daging manusia. Daging dari korban-korban perang. Memakan daging tersebut seperti simbol harga dari sebuah kehormatan. Seperti sebuah keeksotisan purba.
Sepurba itukah bangsa kita? Kepurbaan yang muncul di zaman Spiderman dilahirkan dan beraksi bergelayut di gedung-gedung tinggi. Zaman dimana unyil, sebuah boneka yang mampu mengajarkan kebijkasanaan kepada adik-adik kita. Namun kesadisan juga tak pernah berhenti. Bagaimana parang dan tombak beradu di Sampit beberapa tahun silam. Darah mengalir seperti sungai, kepala diatas tombak seakan-akan memotret sebuah epos. Apakah kita memang merindukan sosok Bhisma dalam perang Mahabarata. Sosok yang mati disangga berpuluh anak panah. Benarkah kematian dengan eksotika. Setidak-setidaknya bagi mereka yang mengaguminya. Kematian dalam perang saudara adalah sebuah estetika?

***
Bangsa ini tumbuh dalam tradisi ketimuran yang menjunjung tinggi moral, harkat dan martabat manusia. Konon dahulu kita terkenal dengan bangsa yang ramah. Dunia luar sempat mengcungkan jempol buat kita. Bangsa kita lahir dengan segala perbedaan yang ada. Berdiri diatas kaki lima agama, berdiri diatas tanah kepulauan, dan berdiri diatas seribu satu macam suku. Luar biasa. Maka tak salah sumpah pemuda 28 Oktober 1928 diamini oleh pemuda bangsa. Pemuda yang terkumpul dari berbagai sudut tanah air tumpah darah.
Romantisme sejarah itu begitu takjub. Benang – benangnya seakan merajut mozaik harapan yang tak sirna. Tapi kini mozaik itu pun runtuh pecah berkeping-keping. Bangsa ini sedang sekarat. Drum mengatakan, “Bangsa ini bangsa yang sakit”
Apakah kesekaratan ini karena kita tak dilahirkan sempurna? Setidaknya Kyai Ancol mengatakan kita lahir dalam keadaan sungsang, tidak normal. Kelahiran yang selalu diliputi perkara. Mulai dari perdebatan antara bentuk negara kekeluargaan (negara integralistik) versus ide Mohmmmad hatta negara demokrasi yang menekankan kebebasan hak individu. Tak juga kunjung usai. Penjabaran secara poitis, kenapa republik lahir sungsang, karena teks proklamasi yang dibuat di rumah Laksamana Laut Maeda kental dengan pengaruh fasisme Jepang. Benarkah perkataan Kyai Ancol. Kalau pun benar, apakah dengan serta merta begitu kita akan menjadi rendah diri, seperti cerita anak haram yang dihujat perihal asal usulnya tidak jelas.
Sudah terlalu lama kita berkubang dengan pertikaian. Sudah terlalu lama kita dirundung kecurigaan. Hanya tersekat dengan kepercayaan yang berbeda, tersekat oleh lekuk tubuh yang berbeda, tersekat nilai-nilai yang berbeda, dan ukuran-ukuran yang berbeda. Toh sebenarya kita merindukan suasana yang sama. Namun akhirnya kita pun jungkir balik atas nama sebuah bangsa. Dimanakah perbedaan adalah sebuah anugerah? Warna-warna tak dipahami sebagai pelangi yang indah. Tak jemukah dengan kesekaratan ini. Apakah masih menunggu sang ratu adil datang ujug-ujug membawa kedamaian. Padahal kedamaian selalu kita dengungkan milik kita bersama. Tenggang rasa, hormat menghormati, saling menghargai bukankah pilarnya. Tak tahukah kita? Teringat lagu masa kecilku yang indah: Tanah airku Indonesia negeri elok yang amat ku cinta…
-------------------------------------------------------------------------------------------------
Ditulis tahun 2004 ketika masih sering terjadi kerusuhan berdarah di negara kita.Dipublikasikan di rubrik Kolom Buletin Indimolor FE-UB Edisi Ospek tahun 2004. Ilustari oleh Ferdi, image dari gettyimages.com dan deviantart.com

Komentar

Postingan Populer