Di Kota Ini, Kita Menunggu Maut

Photobucket

Malang—Kota Malang-Batu—dan kesejukan seakan tak terpisahkan. Tapi itu sudah siap luntur jadi kenangan. Kalau tak segera dibenahi, siapkan kita dengan bencana?


Tangis. Menandai di penghujung awal tahun ini—Aceh, Sumatra Utara dan Nias—. Kerut wajah dari sisi terdalam manusia, ketika garis-garis hidup terengut diluar kuasanya. Tangis adalah kepasrahan itu. Ketundukan dari suatu bencana yang tak lagi bisa ditandingi oleh kekuasaan manusia. Meski berulangkali kita sombong. Melaknati tempat hidupnya sendiri—Lingkungan dan alam—. Inilah kekuasaan yang berujung pada tangis dan kematian, yang seolah-olah nilainya pudar sebab telah terbiasa.

Jikalau alam adalah makhluk hidup yang bisa mengungkapkan kemenangan. Pastilah dirinya bersorak sorai. “Inilah kekuasaanku manusia, engkau tak berdaya” mungkin begitu ungkapnya. Seandainya sinema Lord of the Ring adalah kenyataan. Maka itulah raut Treebeard sesosok raja pepohonan yang murka. Kesabaran itu menuai batasnya. Bangsa tree bergerak menuntut balas atas kekejaman bangsa Orc yang selama ini membunuh dan memusnahkannya. Dan hari pembalasan itu datang.

Tapi alam terlampau bijak, kata-kata dan imajinasi terlalu sempit untuk bisa memaknai sebuah kemenangannya. Alam tak punya akal, rasa dan pikir seperti manusia yang bisa mengukur menang atau kalah. Lagi pula alam dan manusia adalah sosok yang berbeda. Tapi tak terpisahkan. Kepasifan alam yang selama ini diartikan, ternyata menempuh jalannya sendiri. Kemurkaan itu datang dengan wajah-wajah tak tampak. Mengakibatkan manusia terusir dari kampung halamannya. Terusir dari keluarganya. Terusir dari apa yang dicintainya. Manusia menjadi begitu rapuh, menjadi ke-dirian-nya. Maut berujung kematian membuat manusia benar-benar sebagai hamba yang bersujud. Benar adanya jika kematian menghadap, itulah diri kita. Dan Tuhan terasa begitu dekat.

***

Pada mulanya adalah kesejukan. Telah lama Malang—Malang-Batu—termasyhur akan kesejukannya. Sepetak ruang nyaman yang bisa meneduhkan pikiran orang-orang yang lelah dengan pertarungan hidup. Meski datang sekedar menikmati segarnya udara itu. Di dalam perjalanan, kenyamanan itu juga tak henti disuguhkan, kiri kanan pohon masih rapat menghijau. Orang kota Surabaya atau daerah lain di sekitar Malang seringkali menghabiskan akhir pekan disini. Sampai-sampai mereka menyebut Malang pesona Jawa Timur sebenarnya. Betapa cinta mereka akan daerah ini.

Beribu-ribu mahasiswa tiap tahun datang. Pilihannya masih bermula pada kesejukan. Rupanya angan belajar dengan suasana kesejukan masih menjadi alasan mujarab bagi mereka untuk datang. Suasana mendukung, ilmu pun terserap baik, mungkin begitu dipikiran mereka. Kesejukan itu begitu menyentuh, menjadi magnet mereka untuk datang. Hingga melampaui batas-batas kota, daerah, suku-suku, ras dan agama. Melampaui batas-batas kepulauan. Tak ada iklan yang menyiarkan, tapi sebegitu membius di ruang imaji pendatang—wisatawan dan mahasiswa—. Malang dan kesejukan itu.

Seorang pelajar dengan suka cita dan harapan tentang hari esok mengawali kelulusannya. Perkuliahan adalah gerbang selanjutnya yang harus dihadapi. Perkuliahan sebagai tanda dari garis hidup manusia yang berujung pada masa depan. Tentu pilihan itu menjadi penting. Di jauh hari sebenarnya ia sudah menjatuhkan pilihannya kepada Universitas Brawijaya di Malang. Dan menjadi bimbang ketika pertimbangan itu terbentur pada batas kefanaan manusia. Ketakutan pada nikmat yang hilang dari sejuk itu. Kenikmatan yang dulu hanya dinikmati sekali waktu hari tertentu dan spesial baginya. Tapi, kalau ia berkuliah di sini, maka kenikmatan itu tak terasa lagi, menjadi hal biasa. Meski akhirnya ia memutuskan juga kuliah di kota ini.
Kenyataan sekarang, Malang seolah kehilangan indra yang membuatnya istimewa. Udara yang sejuk itu semakin panas saja. Seringkali spanduk maupun baliho berucap “Malang semakin Panas”. Hal-ihwal apa yang membuatnya demikian? Mengutip tulisan Dodi Wisnu Pribadi Kompas 14 Juli 2004. “Tidak ada yang membantah bahwa kerusakan hutan yang menjadi-jadi di lereng, terutama di lereng timur Gunung Arjuno, adalah penyebab banjir bandang besar di Batu Januari lalu”.

Ternyata kerusakan alam asal muasal hal ini. Itu menjdi tak terbantah jika kita tengok Desa Tulungrejo, persisnya dusun Sumberbrantas. Desa itu sebelumnya merupakan hutan dataran tinggi yang berhawa dingin. Tapi, setelah banyak warga yang membuka lahan hutan untuk tanaman hortikultura, semua berubah. Puncak bebukitan digunduli hingga tak tak menyisakan satu batang pohon pun. Ketika musim kemarau tiba, hamparan tanah remah disana mudah diterbangkan angin menjadi gumpalan debu, tak ubahnya seperti di padang gurun.
Kerusakan alam di umur bumi yang tak lagi muda semakin menjadi saja. Padahal kita sudah seringkali diingatkan alam. Seperti tragedi Pacet, Kabupaten Mojokerto tiga tahun silam yang memendam hidup-hidup korbannya, saat mereka bersukaria bersama kelurga dan teman mendadak lumpur menggulungnya. Tercatat 26 orang meninggal, 16 orang hilang.
Tapi peristiwa-peristiwa itu berlalu hanya berbekas tangis dan keluh. Bukankah seharusnya musibah ini kita maknai secara arif ? Penanda alam sudah gerah dengan tingkah kita. Tak kemudian hanya berkata ini adalah takdir Tuhan dan sesuatu yang alamiah. Tindakan-tindakan preventif harusnya segera dilakukan.

***

Salut dengan upaya Walikota Malang untuk Gerakan Malang Ijo Royo-Royonya. “Kegiatan ini memiliki arti penting membangun kesadaran individu masyarakat tentang pentingnya lingkungan hidup yang diharapkan mampu melahirkan kembali keteduhan dan kesejukan kota Malang”, kata beliau, seperti dilansir Kompas, Kamis 22 Juli 2004. Semoga sampai saat ini kegiatan ini masih berjalan, bukan sekedar euforia. Di depan berduyun-duyun giat, setelah itu lupa. Padahal kegiatan ini membutuhkan dana yang tak sedikit. Yang diperlukan adalah kelanjutan dan keajegan yang terus menerus.

Disamping berita gembira itu, masalah Malang Town Square tak juga kunjung selesai. Salah satu analisa ke depan, salah satu efeknya pembangunan ini adalah memicu kerusakan lingkungan kota, seperti kekhawatiran banjir dan pemanasan suhu udara. Hal ini yang harus diwaspadai. Jika jadi, bangunan ini menjadi penambah deret bangunan yang menggangu fitrah kota ini sebagai kota sejuk disamping bangunan-bangunan lain. Sudah tentu hal ini wajib kita jegal. Yang didahulukan bukan kepentingan jangka pendek, tapi kelestarian lingkunganlah yang lebih penting.

Kalau saja semua elemen masyarakat (warga, pengusaha dan pemerintah) se-visi menjadikan kota ini tetap menjadi trademarknya, tak mustahil Malang akan menjadi Bali kedua. Entah untuk berapa tahun lagi kota ini masih menyisakan ketertarikan bagi wisatawan. Padahal kesejukan dan pohon-pohon yang menghijau tetap menjadi daya tarik utama disamping daya tarik lain. Dimana kecenderungan orang sekarang masih menginginkan kealamian dan kesegaran untuk relaksasi. Bukankah ini sebuah peluang bisnis yang besar jika digarap serius dan juga lebih arif terhadap lingkungan dibanding dengan pembuatan mall?

Semua elemen seharusnya mulai dari sekarang mewujudkan mimpi itu. Pengusaha, seharusnya bersatu untuk membangun alam di Malang-Batu, mengembalikan lagi keaslian alam. Tak seperti sekarang hanya menghisap dan kemudian sepah itu dibuang begitu saja. Pemerintah, merancang benar rencana tata ruang dan wilayah, jika memang benar untuk hutan lindung, tindak tegas yang melanggar. Tidak malah ikut melanggar seperti sekarang, yang dilakukan oleh oknum-oknum. Masyarakat, secara tidak langsung juga akan menikmati luberan ‘gula’ dari bisnis ini. Pendapatan mereka juga akan naik. Maka kesejahteraan akan meningkat. Tak kemudian sakit hati dan ikut-ikutan menyerobot. “Daripada tak dapat apa-apa, tinggal sisa habiskan saja”, begitu biasa mereka berprinsip.

Jika langkah-langkah diatas dilakukan dengan konsekuen. Impian itu terwujud menjadi tak mustahil. Manfaat lain adalah keterjagaan alam menjadi lebih. Pepohonan akan menghijau, maka udara akan segar kembali. Jika begitu keselamatan manusia lebih terjamin. Tangis dan kematian itu tak lagi hal biasa. Tapi penuh kesakralan akan nilai. Penuh penghayatan dan renungan, manusia sebagai khalifah bumi. Jikalau memang masih terjadi bencana, itu adalah alamiah. Memang saatnya manusia menghadap Tuhan.

***

Aceh, Nias dan Pacet memiliki titik temu serupa, bencana alam. Meski kejadian itu di ruang dan waktu yang tak sama. Sama-sama melemparkan manusia menjadi seonggok daging yang terkapar. Hal ihwal yang membuat kita sekarang begitu paranoid dengan alam. Tapi asal muasal dari tragedi Pacet dan kedua bencana diatas tentu berbeda. Aceh dan Nias bencana yang datang murni dari alam. Tapi Pacet? Bukankah itu seharusnya tak terjadi.

Malang yang mempunyai geografis tak jauh berbeda dengan Pacet, relatif besar potensi bencana itu akan datang. Apalagi kerusakan-kerusakan di kota ini semakin jadi saja. Jikalau tindakan-tindakan positif tak segera diambil. Entah kisah tangis apalagi yang hadir dihadap kita. Seolah-olah kita akan menunggu maut dirumah sendiri.

--------------------------------------------------------------------------------------------

Note: Dipublikasikan di rubrik Wacana majalah Indikator Nomor 39/tahun XIX/2005
Ilustrai oleh I Putu, Retouch dan Design oleh Ferdi, Image pendukung dari Google Search

Komentar

Postingan Populer