Status, Selfi, Penerbitan dan Keberartian
Sumber foto: www.pexels.com
Tahukah kau mengapa aku sayangi kau lebih dari siapa pun? Karena kau
menulis. Suaramu takkan padam ditelan angin, akan abadi, sampai jauh, jauh di
kemudian hari," ujar Nyai Ontosoroh kepada Minke.
Dialog Teater Bunga
Penutup Abad
dari novel Bumi
Manusia karya Pramoedya Ananta Toer
Beberapa kali Pram
menuliskan posisi istimewa penulis dalam tokoh-tokoh novelnya, sebagai manusia
yang dikenang abadi, tak lekang ditelan zaman sebab dia menulis. Tokoh-tokoh
Pram seperti ini, tentunya beserta watak dan sikapnya seakan-akan menjadi
tenaga sekaligus bayang-bayang bagi penulis muda (termasuk yang hendak menjadi
penulis meski usianya tak muda lagi) untuk sekadar mengepalkan tangan
kemudian menyorongkan suara, "Yes! Aku ingin menjadi penulis! Nanti
aku akan dikenang oleh zamanku. Bila pun gagal setidaknya aku pernah menulis
dan dikenang mantan pacarku!" Atau setidaknya pilihan seperti ini akan
memberi arti pada kehidupannya sebelum dia meninggalkan gelanggang. Seperti kata
Chairil Anwar dari sajaknya Diponegoro, Sekali berarti / Sesudah itu mati.
Namun, gelora yang seakan mudah saja
dikepal itu tak mudah diterabas untuk menjadi pilihan tunggal dalam laku kehidupan.
Tidak hanya pekerjaan menulis tak berdamping erat dengan penghasilan yang
baik. Sehingga perlu strategi ces pleng untuk merentang gerak ke depan.
Selain menimbang sekadar dari royalti sebuah buku yang terbit, tentu saja.
Tetapi perlu juga kemantapan strategi di luar urusan frasa dan kata yang
tertata apik. Misal manajemen perbukuan, pelatihan menulis, memperhatikan
pasar, dan seterusnya dalam ekosistem industri buku.
Namun, bisa saja
asumsi-asumsi tersebut dipunahkan. Sebab penulis-penulis yang melenggang
dikenang zaman nyatanya manusia-manusia dengan sikap keras kepala yang
berlebihan. Sebuah sikap percaya diri bahwa suatu saat pekerjan menulis yang
dilakoninya akan menjadi "sesuatu". Bahkan penulis-penulis tersebut
telah meyakini dalam usia yang sangat muda, misal George Orwell di usia sangat
dini, sekitar lima atau enam tahun, sudah tahu kelak saat dia dewasa akan
menjadi penulis, seperti dikutip dari buku Menulis Itu Indah terbitan
Jendela 2003. Atau Sapardi Djoko Damono telah menulis puisi yang berjudul Tangan
Waktu dalam umur belasan tahun.
Penulis-penulis, yang
kemudian hari disebut sastrawan dengan segala polah tingkahnya itu seringkali
menjadi pesona sekaligus mitos setelah zamannya. Segala peninggalannya
kemudian menjadi semacam pintu masuk bagi penulis muda untuk memasuki
jalan terjal dan remang sebagai sebuah sikap hidup. Membaca Pram tentunya
kita tak bisa menutup mata tentang hal ikhwal perjalanan hidupnya yang getir.
Juga penulis-penulis lain yang kita kenang menjalani hidup yang tak lempeng.
Ringkasnya menjadi penulis yang dikenang bisa jadi serba tak mudah.
Tetapi kisah genting
nan gawat, hiruk pikuk dalam ketegangan hidup itu beruntungnya tak menjadi
syarat muluk seseorang yang kemudian disebut masyarakat sebagai penulis.
Sekarang cukuplah ia menulis dengan rajin, atau sekadar mengumpulkan status
yang kemudian ditata apik dengan sebuah program komputer penata artistik.
Setelah itu kirim ke percetakan. Suit bram akadabra. Bukumu jadi.
Selamat Anda telah jadi penulis!
* * *
Menulis, yang kemudian kita yakini sebagai media komunikasi
modern yang dapat lepas dari tatap muka, serta lepas dari kungkungan ruang dan
waktu antara subjek dan objeknya (penulis dan pembacanya) untuk mengartikan
sebuah tanda, telah melewati seusia peradaban manusia setelah tradisi lisan
dirasa tak cukup untuk menuangkan pesan. Penggunaannya semakin penting
setelah ditemukan kertas, dan semakin luas lagi sejak ditemukan teknologi
cetak. Dengan menulis, peradaban manusia terus dilestarikan dan diperbarui.
Penulis pada setiap
zaman, tentu saja yang berhasil menyeruak dari kerumunan akan menjadi tanda
pada zamannya. Dia akan dikenang sebagai penulis yang mewariskan nilai-nilai.
Dia menempati posisi penting sekaligus genting, sebab tak jarang penulis hidup
dalam ruang-ruang politik dan kekuasan. Penulis adalah keahlian istimewa
yang dimiliki pribadi, yang memang tak semua orang memiliki hal tersebut pada
zamannya.
Kemudian pertanyaan
itu ditautkan ke zaman sekarang? Siapakah penulis? Di manakah letak posisinya
di masyarakat? Jawabanya dapat beraneka ragam.
Seorang teman pada
sebuah diskusi buku, di ruang kelas kuliah mengatakan, melakoni hidup
sebagai penulis nyatanya tak mudah. Setelah urusan imajinasi dituangkan dalam
kata-kata selesai, nasib karya tersebut serba ganjil sejak dilahirkan.
Akankah bernasib buruk tersimpan di email sebuah penerbitan buku? Atau
karya tersebut mendapat keajaiban lain, misalnya menang pada sebuah sayembara.
Tetapi teman saya tak
surut. Rupanya dia akan terus menuruti bakatnya, kalau boleh diucap. Bila
menulis tak menghasilkan nilai ekonomis. Dia akan menjalani peran lain seperti
menjadi guru, sembari tetap menulis untuk memberi jalan pada bakat dan
imajinasinya yang meledak-ledak itu.
* * *
Barangkali setiap
zaman akan memberi tantangan yang berbeda-beda kepada penulis. Menulis,
sebelum kemudian menjadi buku. Tahun-tahun sebelumnya menjadi hal teristimewa
bagi penulis ketika karyanya berhasil dibukukan. Kemudian buku-buku itu
beredar di toko-toko buku megah. Tersusun rapi dalam rak yang berkilauan.
Tetapi untuk sampai ke sana, jalan juga berkelokan, melewati blokade-blokade
galak. Penulis-penulis yang ditampik, dan penulis-penulis lain yang punya
nilai-nilai berseberangan kemudian
membuat alternatif penerbitan sendiri dengan teknologi cetak seadanya, semisal
memfotokopi dan menjilidnya sendiri. Kemudian diedarkan dalam komunitas dan
jaringannya.
Metode semacam itu
ternyata terus berkembang dengan alternatif yang beraneka rupa maksud dan
tujuannya. Ketika teknologi semakin canggih dengan memberi ruang personal
yang lebih luas. Teknologi cetak pun demikian, buku-buku menjadi semakin mudah
dicetak dengan biaya terjangkau. Dan kualitas cetaknya semakin baik dari hari
ke hari. Hampir tak bisa dibedakan cetakan buku kelas mayor atau
sekadar buku terbitan self publishing. Bisa jadi hasil cetaknya sama
baik. Kualitas isi pun juga sama baiknya. Atau bisa juga sama buruknya.
Bergantung kadar keseriusan penulis dan penerbitnya.
Ketika karya-karya
semakin berlimpah ditulis. Dalam unggahan media sosial, cuitan status, hingga ke
blog-blog. Kemudian menjadi buku-buku yang dicetak dengan gempitanya.
Setelah itu buku-buku itu hendak pergi ke mana?
* * *
Memang saya sedang
menimbang untuk tak terjebak pada pandangan skeptisisme. Saya ingin melongok ke
tingkap lain. Bahwa status yang menghasut, serta potret yang bergolak melenggokkan
lekuk tubuh itu. Nyatanya memang tak mampu meredam kehendak jemari pemirsa
untuk terus menyimak dan terjebak. Bila di sebuah beranda tiba-tiba muncul
potret buku yang diunggah dengan selfi penulisnya, sudah sepatutnya saya
menepuk tangan. Bila pun tulisan-tulisan
di sana sekadar rumusan 5W + 1H atau pun kumpulan status yang centang perenang
yang terkadang hampir diserupakan dengan sabda. Tetaplah buku-buku itu buah
pikiran penulisnya. Dia perasan jiwa,
segenap tenaga dan pikiran, waktu dan
biaya penulisnya. Yang semoga saja dia
tidak lenyap pada sebuah tikungan.
Saya meyakini menulis
adalah metode berpikir sistematis untuk memberi jarak pada kepingan peristiwa
kemudian disusun kembali dengan sudut pandang yang lebih bermakna. Saya pikir,
metode berpikir ini menjadi bagian terpenting dari proses menulis, terlebih
pada dunia yang berupaya untuk menjadi lebih cepat, menjadi lebih molek dan
canggih, serba seketika dan memanjakan kita untuk tak berpikir. Oleh sebab itu
kenapa hoaks menjadi populer ketika media digital menyambut laku semacam
itu; share, share, dan share.
Proses permenungan ini
lah yang akan menghasilkan dialog, relasi timbal-balik dengan objek yang
mengantarkannya pada keakraban. Mengutip Eka Kurniawan penulis novel Lelaki
Harimau yang masuk nominasi penghargaan Literatur bergengsi Man Booker
International prize 2016, "Saya percaya kelas menulis terbaik adalah
membaca buku dan membicarakannya. Dikutip dari komentar status tanggal 5 Mei
2017 di fans page Eka Kurniawan.
* * *
Belajar menulis untuk sekadar menjadi penulis "keras kepala" barangkali sudah tak pas lagi di zaman ini. Tapi keahlian menulis yang menyentuh metode-metode berpikir setidaknya akan memperkaya pribadi siapapun yang giat melatihnya. Yang tentu saja akan mempermudah pekerjaanya yang dilakoninya sekarang. Semoga! •
Komentar