Catatan Hati : Kumpulan puisi yang belum beranjak dari gambar dua gunung, sawah yang menghampar, dan jalan yang membelah.



Penyair adalah ia yang membuat bahasa, menggunakan bahasa, gandrung pada bahasa. Ah, tidak juga. Penyair adalah ia yang merasa terpenjara oleh bahasa, sehingga ia selalu berusaha memperluas bahasa. Ia hanya boleh mati setelah ia sungguh-sungguh membayar hutangnya pada bahasa, kalau bukan memperbaharui bahasa. Bila ia sekedar mengupak bahasa, ia tidak boleh mati. Ia harus kita tanyai terus menerus…

Nirwan Dewanto, Pengantar Bunga Rampai Puisi FSS 2007, Lima Pusaran.

Semenjak Sapardi Djoko Damono menulis pengantar bukunya Sihir Rendra: Permainan Makna tahun 1999. Ia kurang lebih menulis bahwa puisi rupanya ditulis dalam keadaan apapun, tak hirau situasi yang sedang genting dan pelik dalam hari-hari. Para penyair kian teguh menulis, tentang apa saja saja yang menjadi masalah manusia. Kemudian menyiarkan dan menerbitkannya, meski dalam lingkup yang terbatas. Entah sudah berapa ratus penyair semenjak Chairil menggubah sajak ‘Aku” hingga beberapa dekade kemudian, dan entah berapa juta sajak telah tercipta. Dan berapa banyak buku puisi telah dilahirkan. Zaman terus berganti hingga kita berjumpa dengan Mulia Ahmad Elkazama yang hidup dalam gegap gempita teknologi informasi yang menyeruk hingga ke ruang-ruang privat. Dimana hampir-hampir kita tak lagi dapat membedakan mana kehidupan nyata dan apa yang terjadi di layar handphone. Semua serba mengawang dalam kode-kode digital. Dalam keadaan demikian itu pun puisi terus ditulis dengan sangat melimpahnya. Dalam gelombang serupa bah tersebut itulah kumpulan puisi “Catatan Hati” hadir.

Tentu saja kita akan berbahagia dengan terbitnya kumpulan puisi “Catatan Hati” karya Mulia Ahmad Elkazama ini. Setidaknya hal tersebut membuktikan puisi telah menjadi milik orang kebanyakan. Bukan hanya milik “penyair” berambut gondrong yang hidup di gua-gua pertapaan dengan kisah petualangan yang mendebarkan, penuh ketabahan dalam cengkram kesengsaraan. Namun sekarang kita akan menjumpai penyair dengan paras yang beragam dengan latarbelakang profesi. Bila kita melihat potret Mulia, bolehlah kita berkesimpulan bahwa ia adalah penyair santun nan taat. Yang hidupnya lempeng dengan goncangan-goncangan remeh.

Setidaknya dalam beberapa tahun terakhir, lebih tepatnya bersamaan dengan lahirnya kehidupan kedua dalam media sosial. Puisi telah menjadi milik orang kebanyakan dengan pesatnya. Puisi dirayakan dimana-mana, dengan beragama acara. Hampir tak terkendala batas-batas ruang dan waktu. Mulai dari membuat antologi yang kadangkala satu sama lain penyair tersebut tidak pernah bertemu. Kemudian dibacakan diatas mimbar-mimbar. Dengan puncak acara tersebut adalah berfoto bersama kemudian mengunggahnya di layar media sosial.

Ketika puisi milik orang kebanyakan, saat itu lah puisi ditulis dengan pesatnya dengan berbagai tenaga yang unik. Tentunya salah satu diantara kerumunan itu adalah Mulia. Saya pikir tugas ekstra yang diperlukan penyair sekarang adalah bagaimana bisa keluar dari kerumunan dengan menggunakan segenap tenaga ketrampilan mengolah bahasa untuk menemukan cara ungkap yang khas.
  
Kumpulan puisi Catatan Hati ini, menyajikan kurang lebih 83 puisi dengan masa rentang penulisan antara 2011 hingga 2016. Rentang waktu yang tidak pendek untuk tetap khusuk menulis puisi. Dengan tema beragam mulai cinta, protes sosial, pencarian tuhan, eksistensialisme, hingga yang remeh tentang kucing.
Menelusuri 83 puisi milik Mulia setidaknya saya membutuhkan waktu yang tenang untuk membolak-balik halamannya. Tentu saja saya akan membuka cepat untuk mencari karya yang menarik mulai dari judulnya. Setelah cukup, saya membalik lagi dari depan, dari belakang, dari tengah, hingga saya menemukan puisi yang menarik perhatian. Kemudian saya tutup buku puisi tersebut. Saya memejam. Saya hampir-hampir tak mengingatnya.

Saya curiga, setidaknya Mulia menganggap puisi serba serius untuk mendesakkan sebuah petuah, atau hal-hal yang penting untuk didesakan dalam puisinya. Ia berada di atas panggung untuk berbicara hal yang demikian. Kalau Sapardi menggangap menulis puisi itu sungguh mengasyikan bermain kata-kata sehingga tercipta “rahang-rahang laut”, “rahang-rahang bunga” dalam sajaknya Catatan Masa Kecil, 2. Saya hampir tak menemukan pola keasyikan semacam itu.
  
Bahkan ia pun kurang memaksimalkan—bukan berarti tidak ada—sarana bunyi untuk membuat puisinya renyah dengan permainan huruf-huruf vokal dan konsonan yang sering digunakan oleh banyak penyair. Puisi ini setidaknya ada usaha bermain bunyi, dan banyak puisi lainnya tidak membuat penting atau sarana bunyi itu untuk dieksplorasi dalam puisinya. Coba kita simak.

Sajak Rindu
Rin, senja t’lah lenyap di pelukan pekat
Siluet jingga yang menghipnotis mata
Berganti remang cahaya; menjelaga
Bulan bintang pun melukis petala langit
Dan aku masih disini, menunggumu

Rin, rindang rindu sudah meranggas
Berguguran seperti dedaunan kering
Angin kemarau yang risau berkejaran
Mengincar hatiku tuk dijatuhkan pula
Tapi aku tetap di sini, menantimu
Rin, aku akan terus menunggumu
Tak peduli terang menghitam legam
Tak peduli tetes-tetes rindu berguguran
Dan aku lebih tidak peduli
Karena kaulah yang setia kunanti

Mojokerto, 9 Desember 2015

Barangkali Mulia punya jalan teguh sendiri yang tidak terpukau dengan kata-kata Paul valery yang sering dikutip banyak orang bahwa puisi adalah bimbang yang berlarut antara bunyi dan arti. Karena hal demikian dimanfaatkan benar oleh A. Muttaqin dalam sajak-sajak awalnya dalam kumpulan Pembuangan Phoenix misalnya. Atau yang lebih dekat dengan Mojokerto boleh saya menyebut, Dadang Ari Murtono dalam sajak-sajaknya terdahulu.

Bila saya menarik ke wilayah yang lebih luas, ke panggung penyair Jawa Timur. Banyak penyair mengolah khasanah lokal, bahkan wicara sehari-harinya dalam puisi. Boleh saya menyebut Dadang dengan puisi Ludruknya atau F. Aziz Manna mengolah permainan tradisional seperti Kekean dalam kumpulan puisinya Playon. Mulia hampir tak menyentuh hal demikian. Dia “murni”, kalau tak menyebut memakai kacamata kuda. Jalan dengan gontai kepenyairannya sendiri. Sayangnya hal tersebut tidak menjadikannya khas. Ia tidak berhasil keluar dari kerumunan air bah puisi. Saya hampir-hampir sulit mengingat puisi-puisinya dalam kumpulan tersebut, perlu usaha ekstra untuk mencermati satu persatu judul hingga ke sumsumnya, kata.

Saya menyarankan Mulia untuk membaca Buku Lima Pusaran, bunga rampai puisi FSS 2007 setidaknya Mulia akan membaca kata pengantar Nirwan yang menyebutkan, Sesungguhnya penyair hanyalah pengrajin biasa. Kalimat lain; Setiap kali membaca puisi yang baik, kita tahu bahwa puisi yang demikian itu hanyalah hasil ketrampilan berolah bahasa; ya,’hanyalah’, sebab memang tidak ada peralatan penyair selain bahasa. Dengan menganggap menulis puisi sebagai olah ketrampilan diharapkan menulis puisi menjadi menyenangkan untuk membolak-balik kemungkinan, baik tema, sudut pandang, pemilihan kata dan seterusnya.
Puisi Mulia hampir tidak berupaya merubah sudut pandang, atau mempersonifikasikan objeknya. Kita baca puisi berikut, sekedar mengambil salah satu sajaknya.

I Love Magrib
Siluet cahaya
Menjuntai melukis cakrawala
Di penghujung hari
Elok menghiasi senja
Berhamburan jantan betina
Menuju sudut langit, memenuhi panggilan
Suara yang begitu menggetarkan
Namun terasa asing di zaman sekarang
Maghrib telah datang
Menjadi pelabuhan bagi nelayan
Menjadi istana bagi mereka yang papa
Berubah mercusuar untuk mereka
Yang hilang dalam kegelapan
Magrib oh Magrib
Pengganti senja
Kala malam melebarkan sayapnya

Mojokerto, 14 Agustus 2014

Puisi ini kita tahu hanya mendeskripsikan tentang magrib dengan sudut pandang penyair melihat ke langit senja. Mulia menyebut semua imaji tentang senja dan kaitanya bahwa dia sangat gandrung dengan suasana tersebut. Pandangan mulia tentu saja hampir sama dengan kacamata saya atau siapa pun pada saat magrib melihat ke pantai dan senja akan terbenam. Barangkali hasilnya akan berbeda bila Mulia mempersofikasikan perahu atau senja atau magrib.



Puisi-puisi mulia saya rupakan seperti gambar yang sering kita jumpai dalam pelajaran menggambar dengan dua gunung kembar, persawahan menghampar, dengan pusat jalan yang membelah. Puisinya dalam kumpulan ini setidaknya menggunakan metode demikian. Puisinya mula akan berbicara sekitar citraan lanskap, kemudian menyusut pada objek atau subjek puisinya. Maka akan dengan mudah kita jumpai larik pertama pada puisi-puisinya seperti pagi benar-benar buta, mentari merah, menjuntai melukis cakrawala, serupa petir menggelegar, langit merah saga, dan seterusnya.

Rupa gambar tersebut setidaknya saya ingin mengungkapkan dua hal, pertama penggalian gagasan dan pengolahannya dalam puisinya tidak khas. Maka bila dalam pelajaran menggambar saat sekolah dasar anak-anak disuruh menggambar gunung, hampir tak ada yang membedakan hasil murid satu dengan yang lainnya. Kedua, gambar rupa tersebut menerangkan metodenya yang menyusut ke pusat pada pertemuan horison, dengan pusat jalan yang menyempit pada gunung. Coba kita simak sajak ini, setidaknya puisi ini mewakili metode demikian.

Asa Satu Januari
Langit memerah saga
Letupan api meraung tajam
Mencabik dingin malam
Pesona bintang pun padam

Mesin-mesin menggeram
Mengular sepanjang jalan
Bising; robek gendang telinga
Serupa laron keluar dari sarangnya

Riuh rendah celoteh Adam Hawa
Belah syahdu alun-alun kota
Berseteru dengan pujian kepada baginda
Yang melangit di antara cahaya

Satu Januari telah tiba
Berjuta harapan mengangkasa raya
Tergantung di langit-langit doa
Meresolusi asa menjadi nyata

Mojokerto, 01 Januari 2016

Bait pertama, kedua, dan ketiga saya pikir sekedar sampiran kemudian menyusut ke bait ke empat sebagai inti puisi tersebut. Secara pemaknaan dalam puisi tersebut dengan terang mata kita bisa membaca Mulia sedang memotret perayaan tahun baru tanpa kecurigaaan sedikit pun. Puisi tersebut ditulis dan saat itu juga ia sudah selesai. Bila puisi sudah sedemikian terang apa yang hendak lagi dapat kita nikmati? Saya curiga puisi-puisi dalam kumpulan ini memang diperuntukan untuk lirik lagu atau setidaknya kumpulan rayuan kepada kekasih. Saya teringat kawan penyair pernah menulis demikian; Apa yang menarik dari puisi yang tidak menyisakan tanda tanya?


Disampaikan pada acara Terminal Sastra #24
Di Perpustakaan Kabupaten Mojokerto
Minggu, 19 Juni 2016

Komentar

Postingan Populer