Napak Tilas waktu
MENERIMA manuskrip puisi Imung Mulyanto, seakan tak sabar saya segera membacanya. Sebagai seorang jurnalis tulen, Imung Mulyanto adalah sang terampil pengolah seluk beluk frasa dan kata. Tentu saja uraian kalimatnya bakal purna tersaji dalam barisan puisi. Malang melintangnya dalam berbagai peristiwa, perjalanannya ke berbagai arah membuat puisinya kaya dengan nilai. Meski jiwa jurnalisnya telah mengakar, tapi daging kemanusiannya tak dapat dibendung untuk turut memberi simpati dan empati. Dengan puisilah hal tersebut dapat ditampung, jiwa-jiwa manusia terdalam. Simak puisi ini; Mengapa di Santerra De Laponte tak ada kemarau? / Padahal di rumahku panas dan gersang,/tak bertumbuh bunga cinta setangkai pun! Bukankah kemarau peristiwa alam yang biasa dan wajar? Apa hubunganya dengan rumah dan tumbuh bunga cinta? Bagi saya itu ruang penyair. Pada bagian 1, Imung Mulyanto seakan menyambangi berbagai peristiwa alam, flora fauna seolah membisik pelan pesan-pesan, dan si penyair me...